Jumat, 17 Desember 2010

Mata Cinta _ Novel Kang Abik


Uziek Collections




Uziek Collections

Mahkota Cinta
(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)

Satu 

Mata pemuda itu memandang ke luar jendela. Lautan 
terhampar di depan mata. Ombak seolah menari-nari 
riang. Sinar matahari memantul-mantul keperakan. Dari 
karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa feri yang ia 
tumpangi bernama Lintas Samudera. Tujuan feri yang 
bertolak dari pelabuhan Batam itu adalah pelabuhan Johor 
Bahru. 

Ia memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya. 
Ia meyakinkan dirinya harus kuat. Ya, sebagai lelaki ia 
harus kuat. Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa- siapa
lagi. Bagi seorang lelaki cukuplah keteguhan hati 
menjadi teman dan penenteram jiwa. 

la kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang 
melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir. 
Mengubah nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani 
berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang 
lebih baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan. 
Singapura semakin dekat di depan, dan Batam semakin 
jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak 
menuju Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru, 
Malaysia. 

"Baru pertama ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan 
muda yang duduk di sampingnya. Perempuan itu 
memakai celana jin putih dan jaket ketat biru muda. 
Rambutnya diikat kucir kuda. Ia menaksir usia 
perempuan itu sekitar tiga puluhan lebih. 

"Iya Mbak. Mbak juga yang pertama?" jawabnya 
balik bertanya. 
"Tidak. Saya sudah empat tahun di Malaysia." 
"Berarti sejak tahun 2000 ya Mbak." 
"Tidak. Sejak awal 2001." 
"Kerja ya Mbak?" 
"Iya Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"  


Uziek Collections


Ia berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia 
mau bekerja atau mau sekolah. Sesungguhnya selama 
ini ia merantau dari satu daerah ke daerah lain, selain 
untuk bertahan hidup juga demi mencari takdir yang 
lebih baik. 

"Kok malah bengong Dik." 

"E... tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk dua


duanya. Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi." 

"Baguslah. Sudah ada pandangan mau kerja di 

mana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya." 

"Belum sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak 

kerja di mana?" 

"Saya kerja di sebuah kilang di kawasan Subang 
Jaya. Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya 
banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan, 
nama saya Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau Mari." 

Perempuan muda itu mengulurkan tangan kanannya. 
Pemuda itu juga mengulurkan tangannya dan 
menjabat tangan perempuan muda itu. 

"Terima kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh temanteman 
saya selama ini saya biasa dipanggil Zul Einstein." 
"Wah keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?" 

"Ya tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan 
Einstein oleh teman-teman saya karena mereka melihat 
saya banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau tidak 
terima ya tetap akan dipanggil begitu. Jadi, panggil saja 
saya Zul Mbak." 

"Ya baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata 
perempuan muda itu sambil melepaskan jabatan 



Uziek Collections

tangannya. 

"Jadi Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?" 

Perempuan muda itu malah tertawa kecil. 

"Kamu memang masih asli Indonesia. Kilang itu 
artinya pabrik. Di Indonesia disebut pabrik. Sedangkan 
di Malaysia disebut kilang. Jadi bukan bermakna kilang minyak.
Saya kerja di kilang kertas di kawasan Subang 
Jaya. Itu maknanya saya kerja di pabrik kertas." 
"Obegituya." 
"Rencananya nanti mau ke mana? Di Malaysia sudah 
ada tempat yang dituju?" 

"Tempat yang dituju secara pasti tidak ada. Saya 
hanya membawa sebuah nama dan sebuah nomor telpon. 
Saya ingin sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru setelah 
itu saya akan telpon orang itu." 

"Ya syukurlah. Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur. 
Kalau mau kita bisa jalan bersama." 
la diam saja. Tidak menjawab apa-apa. 
Lintas Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat. 
Dan juga tidak terlalu lambat. 

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, 
Lintas Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru. 
Begitu pintu feri dibuka, para penumpang berebutan 
keluar. Zul keluar dengan membawa tas cangklong hi tarn 
dan tas jinjing besar biru tua. la mengiringi Mari yang 
berjalan di depannya. Perempuan itu menenteng tas 
cangklong putih dan koper kecil beroda warna hijau. 

Mereka berjalan menuju gedung pelabuhan. 
Petugas security pelabuhan sibuk memeriksa barang 
bawaan para penumpang. Tas dan koper Mari 
diperiksa. Setelah beberapa saat lamanya, Mari 
dipersilakan langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul 
juga diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa 
makanan ringan, dan sebuah mushaf Al-Quran kecil 
pemberian Pak Hasan kala ia berpamitan, sebelum 
 


Uziek Collections

berangkat. Petugas security itu memerintahkannya 
untuk terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi. Mari 
sedang serius mengisi formulir kedatangan untuk 
imigrasi. 

"Harus diisi semua ya Mbak?" tanya Zul. 

"Ya. Kecuali kolom yang khusus diisi petugas 

imigrasi," jawab Mari sambil tetap menulis. Sesekali ia 

mencocokkan apa yang ia tulis dengan paspornya. 

"Ini kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi 

Mbak." 
"Sebaiknya iya." 
"Wah saya belum punya alamat Mbak." 
"Pakai alamat saya juga tidak apa-apa." 
"Di mana Mbak?" 
"No. 8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai, 

Subang Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk 
apa datang ke Malaysia, bilang saja untuk melancong 
dan mengunjungi saudara." 

"Iya Mbak." 
Keduanya lalu masuk konter imigrasi. Tak ada 
masalah berarti. Petugas imigrasi sama sekali tidak 
bertanya apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya 
visa multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk apa 
datang ke Malaysia. Zul menjawab seperti yang 
disarankan oleh Mari. Begitu keluar dari gedung, puluhan 
sopir taksi menawarkan jasanya. Mari menjawab tegas 
bahwa ia sudah ada yang menjemput. Zul agak bingung 
menentukan langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya. 
Ia masih ragu harus ke mana. Ia menatap ke 
arah Mari yang melangkah dengan mantap. Mari 
menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut 
dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke 
Kuala Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar 
asing di negeri Jiran ini. 




Uziek Collections

"Kita tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen 
Larkin. Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya KL." Jelas 
Mari. 

Sepuluh menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan 
puluhan penumpang berebutan naik. Bus itu mengantar 
mereka ke Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari mengajak 
Zul ke loketbus Trans Nasional. 

"Biar saya yang bayar Dik." 

"Jangan begitu Mbak, saya jadi tidak enak." 

"Anggap saja kita bersaudara. Jadi santai saja." 

"Satu orangnya berapa Mbak?" 

"Dua puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada 

toiletnya. Biar nyaman di perjalanan. Yuk kita segera 
naik. Sepuluh menit lagi bus akan berangkat." 

Mereka berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari 
duduk di kursi yang berdekatan. Selain wajah Indonesia, 
tampaklah wajah-wajah China, India dan Melayu 
menjadi penumpang bus cepat itu. Sopirnya berwajah 
Indonesia, dan tampaknya ia seorang Muslim, sebab 
sebelum menjalankan bus ia membaca basmalah. 

Bus berjalan keluar stesyen. Lalu melaju membelah 
kota Johor Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah 
jam kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor 
Bahru, dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Bus itu
membelah perkebunan kelapa sawit. Zul memandang 
ke kanan dan ke kiri yang tampak hanyalah 
rimbunan pohon kelapa sawit yang bagai berlarian ke 
belakang. 

"Dari logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa." 
Mari membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting 
jaketnya sehingga benar-benar rapat sampai ke leher. Ia 
tampaknya agak kedinginan. 
 


Uziek Collections

"Iya Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau 
Mbak?" 
"Saya juga Jawa Dik. Saya asli Sragen." 
"Maaf, e... Mbak sudah berumah tangga?" 
"Sudah." 
"Sudah punya anak dong Mbak?" 
"Belum. Bagaimana mau punya anak lha wong 
rumah tangga saya hanya berumur dua minggu." 
"Cuma dua minggu?" 
"Iya bisa dikatakan demikian." 
"Suami Mbak meninggal?" 
"Tidak. Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan 
rasanya susah sekali untuk membina rumah tangga lagi." 
"Maafkan saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal 
yang tidak Mbak sukai." 

"Ah tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian 
itu telah menjadi bagian dalam sejarah hidup saya. 
Memang menyakitkan jika diingat." Kata Mari sambil 
mengambil nafas dalam-dalam. Seperti ada yang 
menyesak dalam dadanya. 

Zul diam saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. la 
kuatir jika salah bicara justru akan memperburuk suasana. 

"Mungkin ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk 
sekadar melepas beban yang menyesak di dada. Dan 
daripada selama perjalan diam saja/' Mari kembali 
membuka percakapan. "Tidak apa-apa kan? Kau mau 
mendengarkan kan Dik?" lanjutnya sambil memandangi 
Zul. Zul jadi menoleh. Pandangan mereka bertemu. 
Zul mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus 
ke depan. Mari mulai bercerita, 

"Saat itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya 
berkenalan dengan orang yang kemudian jadi suami saya 
itu, ya saat kuliah itu. Sebut saja namanya W. Saya tidak 
mau mengingat nama lengkapnya. Saya sudah mengharamkan 
diri saya untuk menyebut namanya. Saya 
sangat membencinya hingga tujuh turunan. 

"Baik saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah 
gadis yang masih lugu. Sekaligus gadis desa yang mudah 



Uziek Collections

terpikat dengan gemerlap duniawi. Agaknya W mengerti 
benar karakter diri saya. Sehingga dia bisa begitu mudah 
masuk dalam kehidupan saya. Ia begitu lihai memikat 
dan menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu 
memakai mobil mengkilat. Orangtua W adalah saudagar 
kaya di Klewer dan Tanah Abang Jakarta. Dia sering 
datang ke kost saya. Dan sering menyenangkan hati saya 
dengan limpahan hadiahnya. 

"Sampai akhirnya W mengatakan bahwa dia sangat 
mencintai saya. Dia ingin sekali menikahi saya. Saya 
seperti terbang di angkasa saat itu, karena sangat 
gembira. Saya benar-benar sudah tergila-gila padanya. 

Ibu saya sebenarnya tidak setuju saya kawin dengan W, 
karena ibu saya ingin saya menikah dengan putra Pak 
Modin yang sedang kuliah di IAIN Walisongo Semarang. 
Saya sama sekali tidak mempedulikan keberatan ibu saya 
itu. Itulah mungkin dosa besar saya pada ibu yang 
membuat saya menderita dan menanggung nestapa. 

"Ringkas cerita, kami pun menikah. Kami menikah 
tahun 1998. Ia langsung memboyong saya ke Solo Baru. 
Ternyata ia sudah punya rumah cukup mewah di sana. 
Itu adalah hari yang sangat indah bagi saya. Seminggu 
setelah menikah, W pamit untuk pergi ke Jakarta. Dia 
bilang untuk urusan bisnis dengan temannya. Beberapa 
hari setelah itu kiamat seolah datang. Langit seperti 
runtuh menimpaku. W tertangkap polisi dalam keadaan 
over dosis dengan seorang pelacur Jakarta. Ia masuk bui. 
Keluarganya tidak peduli. 

"Kakak perempuannya bahkan terang-terangan 
mengatakan sangat membenci W. Dari kakak perempuannya 
itulah saya tahu bahwa W sesungguhnya 
lelaki yang sangat bejat. Bahkan lebih bejat daripada 
makhluk paling bejat sedunia sekalipun. Saya nyaris 
muntah ketika kakak perempuannya itu bercerita bahwa 
dirinya pernah diperkosa oleh W saat W sedang sakau. 
Ia tidak berdaya karena W mengancam akan membunuhnya. 
W itu tega memperkosa kakak kandungnya 
sendiri, apa tidak menjijikkan? Apa tidak melampaui 
batas? Seketika itu, tanpa bisa ditawar lagi saya langsung  


Uziek Collections

mengajukan gugatan cerai. Dan sejak itu saya benarbenar 
jijik dengan kaum lelaki dan saya bersumpah tidak 
akan menikah lagi!" 

Ada nada amarah dalam kata-kata Mari. Ada 
kebencian yang luar biasa di sana. Zul merasa ngeri 
mendengarnya. Ia merasa bingung harus bersikap 
bagaimana. Bus terus melaju dengan kecepatan di atas 
seratus kilometer per jam. Mari diam tidak melanjutkan 
ceritanya. Pandangannya lurus ke depart. Jika diamati 
lebih seksama kedua mata itu sesungguhnya berkacakaca. 
Sesaat lamanya keduanya dijaga oleh diam. 
Akhirnya Zul memberanikan untuk membuka suara, 

'Apa Mbak sampai sekarang masih jijik dengan 

kaum lelaki. Termasuk saya?" 

Mari mengambil nafas dalam-dalam, 

"Saat ini tidak lagi. Saya berusaha bersikap adil. Saya 
tidak boleh menimpakan dosa seorang W pada semua 
kaum lelaki. Tapi jujur saya perlu proses yang sangat 
panjang untuk bisa bersikap adil dan tidak jijik pada 
kaum lelaki. Dan disebabkan rasa jijik dan trauma pada 
lelaki saya pernah punya keinginan untuk hidup 
berumah tangga dengan kaum perempuan saja." 

"Sampai seperti itu Mbak." 
"Iya. Gila bukan? Tapi jangan takut. Saya katakan, 
saya pernah punya keinginan. Hanya pada taraf 
keinginan. Dan itu pun dulu. Sekarang sudah tidak 
lagi." 
"Sejak kapan Mbak bisa kembali normal memandang 
dunia. Maaf, untuk mudahnya saya katakan 
kembali normal memandang dunia, termasuk kaum 
lelakinya. Sebab menurut saya sikap jijik dan trauma 
pada lelaki itu sikap tidak normal." 

"Prosesnya sangat panjang. Sampai saya bertemu 
dengan seorang Ustadzah. Dia lulusan pesantren. Dia ikut 
suaminya yang sedang mengambil program doktor. 
Ustadzah itu begitu sabar menyempatkan waktu untuk 



Uziek Collections

memberikan pencerahan kepada kami, para tenaga kerja 
wanita. Dan ia begitu sabar mendengarkan semua 
keluhan saya. Saya pernah diajak oleh Ustadzah itu tidur 
di rumahnya. Untuk melihat bagaimana keadaan rumah 
tangganya. Dan saya melihat sendiri betapa besar kasih 
sayang suami Ustadzah itu kepada keempat anaknya 
yang semuanya perempuan. Sejak itulah saya tahu 
bahwa ada juga lelaki baik di dunia ini." 

"Bukankah Mbak memiliki seorang ayah?" 
"Ya tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak 
ada sejak saya berusia dua tahun. Jadi saya tidak ingat 

apa-apa tentang ayah. Dan ibu tidak menikah lagi. Kakak 
tertua saya lelaki. Tapi ia tidak begitu peduli pada saya." 
Bus terus melaju. Sejauh mata memandang adalah 

rerimbunan kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua. 
"Bagaimana ceritanya Mbak bisa sampai ke 
Malaysia. Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?" 
"Kalau diceritakan semuanya panjang. Singkat saja 
ya. Setelah suami dipenjara dan saya tahu siapa dia 
sebenarnya, saya mengajukan gugatan cerai. Rumah di 
Solo Baru disita polisi karena ternyata suami punya 
piutang di beberapa bank yang cukup besar jumlahnya. 
Saya tidak punya apa-apa. Ibu sudah renta. Saya anak 
ragil. Saudara-saudara saya sudah berkeluarga. Mereka 
juga hidup susah. Saya tidak berani meminta bantuan 
mereka. 


"Saya nekat merantau ke Jakarta untuk mencari 
kerja. Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah 
sebelum menikah saya sudah selasai D.3 
Akuntansi. Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya 
diterima bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan. 
Saya sudah cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai 
kurang lebih dua tahun. Saya bahkan sempat nyambung 
kuliah, dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah Tinggi 
Ilmu Ekonomi di Jakarta. 

Tapi tiba-tiba entah bagaimana, mantan suami saya 
itu bisa tahu nomor telpon saya dan menelpon saya. Dia  


Uziek Collections

sudah keluar dari penjara dan meminta saya agar 
kembali kepadanya. Saya takut. Saya langsung pergi 
meninggalkan Jakarta hari itu juga. Saya bersembunyi 
ke Bandung. Di Bandung ada agen pengiriman tenaga 
kerja ke Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya 
mengadu nasib dan terbang ke Malaysia. Sampai 
sekarang saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau 
saya di Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya 
masih di Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu 
akan mengejar saya." 

"Kenapa mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah 
perempuan yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi 
oleh hukum?" 

'Ah kamu ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup 
di dalam kamar dan tidur, sehingga membuka jendela 
pun tidak!? Dunia mantan suami saya adalah dunia 
mafia. Dan dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih 
baik saya di Malaysia dulu, baru kalau saya sudah 
mendengar si W itu telah mampus, saya akan balik ke
Indonesia. Walau bagaimanapun saya punya saudara 
dan saya sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin hidup 
berkeluarga dan tenang di hari tua. Saya tidak akan 
menyerah. Saya akan terus berusaha dan bertahan 
sampai Tuhan memutuskan takdir finalnya untuk saya. 
Semenderita dan sesengsaranya saya, saya masih percaya 
bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu adil dan Dia juga Maha 
Penyayang. Saya masih percaya itu Dik." 

Zul hanya diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya 
dia yang menghadapi perjalanan hidup yang rumit 
dan sulit. Perempuan muda yang duduk di sampingnya 
bisa jadi sebenarnya menjalani hidup yang lebih rumit 
yang tidak sampai untuk dikisahkan kepada siapa pun. 

"Kalau adik, bagaimana? Bagaimana bisa sampai 
harus ke negeri Jiran ini? Adakah cerita yang bisa dibagi 
dan didengar?" Mari balik bertanya. la merasa selama 
ini dia yang banyak bercerita. la ingin gantian mendengarkan 
cerita dari Zul. 

"Perjalanan saya bisa sampai di dalam bus ini tak 



Uziek Collections

kalah berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya 
saja saya merasa tidak harus sekarang saya menceritakannya. 
Saya janji saya akan gantian membagi 
cerita saya pada Mbak. Saya yakin kita masih bisa 
bertemu di negeri Jiran ini. Itu pun kalau Mbak benarbenar 
masih sudi menemui saya." 

"Masak tidak sudi. Memang saya ini siapa?" 

"Kuatir, Mbak masih menyisakan rasa jijik itu." 

"Ah, kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu 
jika kelakuan kamu ternyata tidak berbeda dengan si 
W, mantan suami saya itu." 

"Mbak kok seolah yakin benar kalau kelakuan saya 
berbeda dengan mantan suami Mbak. Kenapa Mbak 
tidak waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak 
saya jalan bersama?" 

Mari tersenyum, lalu menjawab, 
"Dengar ya Dik. Orang yang sudah pernah terluka 
seperti saya ini bisa membaca bahasa tubuh orang 
brengsek seperti mantan suami saya dan yang sejenisnya. 
Dari cara lelaki memandang dan menatap saja saya sudah 
tahu dia itu sebenarnya serigala atau tidak. Saya tahu 
mana mata yang jelalatan dan yang tidak jelalatan. Saya 
bisa meraba watak seseorang dari gerak dan binar 
matanya. Tidak hanya mata kaum lelaki. Bahkan mata 
kaum perempuan pun saya bisa membedakan mana 
mata pelacur dan bukan pelacur. Mana mata perempuan 
baik-baik dan perempuan tidak baik!" 
"Jadi Mbak yakin saya ini orang baik?" sahutnya 
sambil melihat ke luar jendela. 
"Sejauh ini saya yakin. Tidak tahu satu dua jam ke 
depan. Bisa jadi kepercayaan saya padamu berubah." 
Jawab Mari tegas. Zul merasakan ketegasan itu. Kalimat 
dan intonasi perempuan itu seolah juga memberitahukan 
kepadanya agar ia jangan mencoba bersikap meremehkannya. 
Dari ketegasan itu, Zul mengerti bahwa 
perempuan muda di sampingnya adalah perempuan 
yang memiliki karakter kuat. Dan tidak mau diremehkan. 
Entah kenapa ia ingin memandang perempuan di  


Uziek Collections

sampingnya itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak 
dapat dilawannya. Ia pun memalingkan wajahnya perlahan dan
memandang ke arah wajah Mari. Mari 
ternyata sedang memandang ke arahnya. Mata keduanya 
bertemu sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam 
hati Zul. Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura 
ketulusan yang memancar darinya. Dan ada pesona yang 
mampu membuat hati Zul merasakan getaran halus 
yang masuk begitu saja. 

"Apakah ada kilatan binar serigala dalam mataku 
Mbak?" 
Mari tersenyum, dan menjawab, 

"Jujur saja Dik ya hampir di semua mata lelaki ada 
binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah 
menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan 
untuk menjaga pandangan." 

Mendengar jawaban Mari, Zul diam dan tidak 
berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke luar 
jendela. Ia memandang rerimbunan pohon kelapa sawit 
yang seperti berlomba-lomba lari ke belakang. Dalam 
hati Zul membenarkan perkataan Mari. Sebab saat ia 
memandang wajah dan mata Mari dengan seksama, ia 
menemukan sihir yang mampu mengubah dirinya 
menjadi serigala. Tiba-tiba ia merasa menemukan 
kalimat untuk menjawab perkataan Mari, 

"Dan hampir semua wajah dan mata perempuan itu 
memiliki sihir yang mampu mengubah lelaki jadi serigala. 
Maka sebaiknya memang keduanya saling menjaga. 
Agar tetap menjadi manusia yang mulia dan tidak 
berubah menjadi manusia serigala." 

Mari tersenyum mendengarnya. 

* * * 




Uziek Collections

Dua 


Menjelang Maghrib bus Trans Nasional memasuki 
kota Kuala Lumpur. Zul menikmati pemandangan senja 
di Kuala Lumpur dengan seksama. Jalan tol yang lebar 
dan melingkar. Gedung-gedung tinggi. Hutan kota yang 
masih terjaga. la harus mengakui, Kuala Lumpur jauh 
lebih rapi dari Jakarta. la mencari-cari gedung yang 
menjadi simbol Kuala Lumpur. la melongok-longok, 
mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya. 

"Menara Kembarnya mana ya Mbak, kok tidak 
kelihatan?" tanyanya pada Mari. 

"Kamu jangan memandang ke arah situ. Pandanglah 
ke arah sana. Di sela gedung menjulang itu. Itulah 
Menara Kembar," jawab Mari sambil menunjuk ke arah 
Menara Kembar. 

"Wah iya. Saya penasaran ingin lihat dari dekat." 

"Jangan tergesa-gesa. Nanti kau akan punya waktu 
yang cukup untuk melihatnya. Kau bahkan bisa makan 
di sana. Kau juga bisa refreshing di sana. Di bawah 
menara itu ada tamannya yang rapi dan indah. Namanya 
taman KLCC. Taman itu terbuka untuk umum dan 
gratis." 

Zul langsung membayangkan nyamannya berjalanjalan 
di bawah Menara Kembar dan nyantai di taman 
KLCC. Tiba-tiba ia teringat Najibah. Gadis satu desa 
dengannya yang pernah menjadi tambatan hatinya. 
Najibah pernah minta padanya untuk rekreasi ke Taman 
Kiai Langgeng. Dan ia berjanji pada gadis itu akan 
mengajaknya ke Taman Kiai Langgeng suatu kali. 
Namun sampai saat ini ia tidak bisa memenuhi janji itu. 
Dan tidak mungkin rasanya memenuhi janjinya itu. 
Sebab, gadis yang punya lesung pipi indah itu, kini telah 
menikah dengan orang lain. Ah, seandainya ia kaya, 
tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan mengajaknya 
jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya 
ke Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman  


Uziek Collections

KLCC itu. 

Karena kemiskinannyalah, akhirnya Najibah 
memutuskan menikah dengan orang lain setelah tiga kali. 
Itu pun setelah Najibah memintanya untuk segera 
menikahinya dan ia merasa tidak mampu. Ia minta
ditangguhkan beberapa tahun lagi. Ia tidak bisa memberi 
jawaban pasti. Dan Najibah merasa tidak bisa bergantung 
pada ketidakpastian. 

"Maaf, Mas Zul, bukan saya tidak cinta sama Mas. 
Orang tua saya minta saya segera menikah. Tahun ini. 
Jika Mas mau ya tahun ini. Jika tidak ya anggap saja 
kita tidak berjodoh. Ini demi kebaikan saya dan Mas." 
Itulah kata-kata Najibah yang masih ia ingat terus. Katakata 
yang tidak mungkin ia lupakan, karena saat itu ia 
tidak berdaya apa-apa sebagai seorang lelaki. Ia sama 
sekali tidak bisa memenuhi harapan orang yang 
dicintainya. Jangankan biaya untuk menikah, biaya 
untuk makan sehari-hari saja ia sering tidak punya. Ia 
benar-benar merasakan betapa susah jadi orang tidak 
punya. Sampai untuk menikahi orang yang dicintai saja 
tidak bisa. Ia benar-benar sedih dan menderita jika 
mengingatnya. 

Sesungguhnya Najibah itu bukanlah gadis yang 
materialistis, ia tidak minta apa-apa, selain akad nikah. 
Namun akad nikah itu ada biayanya. Dan itu yang ia 
tidak punya saat itu. Ia benar-benar tidak punya. Ia 
merasa dirinya adalah orang paling miskin papa sedunia. 

Ah, ia berusaha melupakan peristiwa itu. Namun 
belum juga bisa. Bahkan sampai ia sudah di Kuala 
Lumpur pun peristiwa itu masih saja teringat olehnya. Ia 
yang mengalami peristiwa yang tak setragis Mari saja 
masih dibayangi oleh peristiwa itu, apalagi Mari. Wajar 
jika perempuan muda itu sampai mengalami trauma. 

"Heh, melamun apa! Kita sudah sampai di Purduraya! 
Ayo siap-siap turun!" 

Zul kaget dan tersadar dari lamunannya. 




Uziek Collections

"Kita sudah sampai Mbak?" 

"Iya. Ayo turun. Itu orang-orang sudah pada turun." 

Mereka berdua lalu turun dari bus. Lalu naik ke lantai 
dua. Tempat dimana para penumpang berkumpul 
menunggu bus. Tempat dimana penumpang datang dan 
pergi. Di lantai dualah puluhan waning penjual oleh-oleh 
dan makanan dibuka. Juga di lantai dualah puluhan agen 
bus membuka konter. 

"Mbak ini sudah Maghrib ya?" tanya Zul. 
"Iya sudah. Gini saja. Kita shalat dulu gantian. Tempat 
shalat dan tandas ada di lantai tiga. Kita naik ke sana." 

"Tandas itu apa Mbak." 

"Toilet. Kalau bahasa orang Demak kakus." 

"Wah kok nadanya agak menghina orang Demak 

thoMbak." 
"Kamu ini lelaki kok sentimentil begitu. Ayo kita naik!" 
Mereka berdua lalu naik ke lantai tiga. Mereka ke 

tandas dahulu, baru ke surau. Mereka shalat bergantian. 
Selesai shalat Zul bingung. la baru sadar kalau ia tidak 
memiliki tujuan yang jelas. Mari hanyalah teman 
bertemu di perjalanan. 

"Inilah Kuala Lumpur Dik Zul. Ya selamat datang 
di Kuala Lumpur. Semoga nasibmu berubah di sini. 
Berubah jadi baik. Tidak sebaliknya. O ya, jadi kau mau 
menginap di mana?" 

"Wah jujur saja Mbak. Saya tidak tahu harus 
menginap di mana." 

"Katanya kau mengantongi sebuah nama dan nomor 
telpon itu bagaimana?" 
"Ya, saya coba telpon dulu Mbak." 

"Pakai hp saya saja Dik, tak usah pakai telpon umum.  


Uziek Collections

Tuh telpon umum antrenya kayak gitu," Mari mengulurkan 
hand phone-nya.. 

Zul menerima hand phone itu dengan tangan 
kanannya. Sementara tangan kirinya merogoh saku celananya. 
Ia mengeluarkan sobekan kertas. Lalu memanggil 
nomor yang tertulis di kertas itu. Beberapa saat ia 
menunggu tidak ada jawaban. Lalu ia ulangi lagi. Empat 
kali ia memanggil dan tidak ada yang mengangkat. 

"Bagaimana Dik?" 

"Tidak ada yang mengangkat Mbak." 

"Mungkin sedang shalat. Kalau gitu ayo kita cari 
makan dulu. Saya lapar. Setelah makan ditelpon lagi." 
"Boleh." 
Mari berjalan di depan. Ia sangat hafal seluk beluk 

Terminal Purduraya. Dan bisa dipastikan bahwa 
pekerja Indonesia yang bekerja di sekitar Kuala 
Lumpur sangat akrab dengan terminal bus paling 
padat di Kuala Lumpur ini. Mari memilih makan di 
Kak Long Cafe. Sebuah cafe milik seorang Muslimah 
keturunan China. 

"Bisa jadi kita nanti akan sulit bertemu. Bahkan 
mungkin akan tidak bertemu. Namun siapa tahu adik 
perlu bertemu dengan saya suatu hari nanti. Atau perlu 
bantuan saya. Saya akan kasih nomor telpon saya. Bisa 
ditulis?" kata Mari selesai makan. 

"Bisa Mbak. Terima kasih ya atas segalanya. Berapa 

Mbak nomornya?" jawab Zul. 

"0176767676. Bacanya mudah 01 terus tujuh enam 

empatkali." 

"Wah mudah diingat Mbak." 

"Coba orang yang kautuju itu dikontak lagi." 



Uziek Collections


Zul langsung menelpon nomor yang ia telpon 
sebelumnya. Beberapa kali ia telpon tapi tidak juga 
berhasil. 

"Tetap tidak ada yang mengangkat Mbak." 

"Mmm...." gumam Mari sambil mengerutkan 

keningnya. 
"Saya coba lagi Mbak." 
Zul kembali melakukan panggilan. Tidak juga 

berhasil. 

"Bagaimana, tidak berhasil juga?" tanyaMari. 

"Iya." 

"Kau di sini asing. Kalau tidak ada teman kasihan. 

Kalau kau mau kau bisa ikut saya menginap di tempat 
saya." 
"Menginap di tempat Mbak?" 

"Iya. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Di tempat 
saya ada tiga kamar. Kau bisa menginap di salah satu 
kamarnya. Paling tidak untuk sekadar melepas lelah. 
Besok kau bisa mencari orang yang kautuju itu. Itu kalau 
kau mau." 

Zul terdiam sesaat. Ia memang tidak kenal siapasiapa 
di Kuala Lumpur ini. Nama yang ada dalam 

sobekan kertasnya pun sebenarnya tidak kenal. Nama 
itu adalah nama kenalan Pak Hasan. Katanya ia adik 
kelas Pak Hasan sewaktu kuliah di Jogja yang sekarang 
bekerja di Kuala Lumpur. Dan jujur ia memang perlu 
istirahat. Perjalanan dari Batam sampai Kuala Lumpur 
cukup membuatnya lelah. Apalagi dua hari sebelum 
berangkat ia kerja lembur di sebuah bengkel. 

"Bagaimana Dik? Kalau kau mau ayo kita berangkat.  


Uziek Collections

Mumpung belum terlalu malam. Atau kau mau tidur di 
bangku itu, ya tidak apa-apa. Tapi jangan kaget kalau 
nanti ada operasi polisi dan kau dianggap gelandangan. 
O ya bisa juga kau menginap di hotel Purduraya ini. 
Tinggal kau jalan ke atas. Tapi ongkosnya ya lumayan." 
Mari menjelaskan beberapa pilihan untuk Zul. 

Zul masih belum mantap menentukan salah satu 
pilihan. Hati kecilnya ingin menginap di hotel. Tapi uang 
yang ia miliki benar-benar pas-pasan. Ia sebisa mungkin 
harus menghemat. 

"Sudahlah Dik ayo ikut saya saja. Besok kau bisa 
pergi ke mana kau suka. Ayo!" Kata Mari dengan tegas 
seraya bergegas ke luar terminal. Ketegasan kata-kata 
Mari membuat Zul seolah menemukan pilihan terbaik. 
Ia pun mengikuti langkah Mari. Mereka keluar 
menyeberangi jalan raya. Mari berjalan dengan cepat 
meskipun ia harus menyeret tas kopornya. Zul berusaha 
mengimbangi di sampingnya. 

"Kita mampir di supermarket sebentar. Lalu kita ke 
Terminal Pasar Seni cari bus Rapid KL yang ke Subang." 
"Iya Mbak. O iya Mbak ini hand phone-nya nanti 
lupa." 

"Ayo cepat.dikit." 
Mereka berjalan menyusuri trotoar. Mari masuk 
sebuah supermarket dan belanja makanan, sikat gigi, 
odol, dan sabun mandi cair. Zul menunggu di depan 
supermarket. Tak lama kemudian mereka kembali 
berjalan. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai 
di Pasar Seni. Mari langsung naik Rapid KL jurusan 
Subang. Zul ikut di belakangnya. Setelah membayar 
karcis mereka duduk. Bus berjalan perlahan. 
"Jangan kaget, nanti kau akan tinggal di tengahtengah 
tenaga kerja wanita. Artinya penghuni rumah itu 
semuanya wanita. Saya salah satu di antaranya. Rumah 
saya dihuni enam orang. Ada tiga kamar. Satu kamar 
berdua. Kebetulan ada dua orang yang sedang pulang 
ke Indonesia. Jadi saat ini dihuni empat orang. Kau nanti 
bisa tidur di kamar saya saja. Kebetulan di kamar saya 
ada kamar mandinya. Jadi kau tidak akan mengganggu 



Uziek Collections

teman-teman saya yang lain." 
Mari menjelaskan kondisi rumahnya. Zul mendengarkan 
dengan seksama. la merasa sudah terlalu 
banyak berhutang budi pada perempuan muda yang 
baru dikenalnya itu. 
"Mbak baik sekali. Entah bagaimana saya harus 
membalas budi Mbak. Saya malu pada Mbak." 
"Jangan berpikir begitu. Kita ini sebagai manusia 
sudah semestinya saling tolong menolong. Iya tho. 
Manusia tidak bisa hidup sendirian. Iya tho Dik. Apalagi 
kita sama-sama orang Jawa, dan sama-sama orang Indonesia 
dan sama-sama orang Islam. Sudah jadi kewajibanku 
membantu adik. Ya anggap saja aku ini kakakmu." 

"Iya Mbak. Terima kasih Mbak." 

Rapid KL membelah kota Kuala Lumpur. Karena 
kelelahan Zul tertidur. Cukup pulas. Mari mengamati 
dengan seksama, anak muda yang duduk di sampingnya 
itu. Wajah polos khas Jawa. Wajah yang tampak begitu 
muda. Ada guratan derita di sana. Namun ada juga gurat 
keberanian dan kenekatan. Mari memperkirakan umur 
pemuda ini lima tahun lebih muda darinya. la telah 
masuk dua puluh tujuh. la perkirakan Zul tak lebih dari 
dua puluh dua. 

Setelah satu jam berjalan akhirnya mereka sampai 
di Subang. Mari membangunkan Zul. Zul bangun 
dengan tergagap, 

"Sudah sampai tho Mbak?" 

"Sudah Dik." 

Mari turun diikuti Zul. 

"Kita perlu jalan kira-kira dua ratus meter baru tiba 
di rumah. Tak apa ya?" 
"Tidak apa Mbak." 
Mereka berjalan memasuki kawasan Taman Subang 

Permai. Selama dalam perjalanan Mari bercerita tentang 
teman-temannya.  


Uziek Collections


"Rumah saya rumah teras. Rumah teras artinya ya 
rumah biasa seperti rumah-rumah di Indonesia yang ada 
terasnya. Bukan rumah apartemen. Saya menyewa 
bersama teman-teman dari orang China. Rumah itu ada 
tiga kamar. Kamar paling depan ditempati oleh Linda 
dan Sumiyati. Linda asli Sukabumi, ia lahir di Amsterdam. 
Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati jangan
sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan 
membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus 
jaga iman kalau berhadapan dengannya! Terus teman 
sekamarnya adalah Sumiyati, asli Blitar. Sumiyati juga 
sudah bersuami. Kamar tengah saya yang menempati. 
Saya sekamar dengan Iin. Kami memanggilnya Iin. 
Nama aslinya Mutmainah. la asli Pati. Iin sudah bersuami 
dan punya dua anak di Pati. Kamar yang paling belakang 
saat ini kosong. Yang tinggal di situ adalah Reni dan 
Watik. Keduanya sedang pulang kampung. Mereka 
berasal dari satu kampung di Kendal Jawa Tengah. 
Sebetulnya kau bisa tidur di kamar Reni dan Watik yang 
kosong. Tapi di kamar itu tidak ada kamar mandinya. 
Lebih baik nanti kau tidur di kamar saya saja. Biar saya 
dan Iin yang tidur di kamar Reni." 

"Iya Mbak." 
"O ya jangan kaget ya. Jika nanti mereka itu banyak 
bicara. Mereka itu perempuan-perempuan yang paling 
suka ngobrol dan banyak cerita. Jika kau tidak ingin 

ngobrol kau nanti langsung saja tidur." 
"Iya Mbak." 
Lima belas menit berjalan akhirnya mereka sampai 

di sebuah rumah, yang tak jauh berbeda dengan 
perumahan di Indonesia. Hanya pintunya dirangkapi 
dengan pintu besi. Mari langsung membuka pintu. Dan 
begitu ia masuk ia langsung disambut histeris temantemannya. 


"Oi, Mbak Mar pulang!" teriak seorang perempuan 
muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos 
oblong. 




Uziek Collections

"Hei kau bawa teman ya Mar?" tanya perempuan 
berdaster panjang. 
"Iya. Ini, anggap saja adik saya. Namanya Zul. Dia 
mungkin numpang cuma semalam saja/' jelas Mari. 
"Adik apa adik?" ledek perempuan bercelana pendek. 

Mari hanya tersenyum kecut. 
"Kenalkan saya Zul, dari Demak." 
"Saya Sumiyati, dari Blitar." Sahut perempuan bercelana
pendek. 
"Aku Iin. Soko Pati Mas."1 Perempuan berdaster 

memperkenalkan diri denganbahasa Jawa. "Yo anggep 
wae, iki ning ngomahe dewe. Anggep wae ning ngomahe 
keluargane dewe."2 

"Inggih matur nuwun Mbak."3 Jawab Zul. 
"Si Linda mana?" tanya Mari. 
"Seperti biasa Mbak ke KL. Seperempat jam yang lalu ia
dijemput sama si Chong Tong," jelas Sumiyati. 
"Tak ada kapoknya anak itu!" sahut Mari dengan 
nada tidak suka. 
"Yo mugo-mugo4 Gusti Allah membukakan jalan 

baginya untuk taubat," lirih Iin. 
"Amin!"tukas Mari. 
"E... Mas Zul kok berdiri di situ saja. Silakan duduk 

Mas. Monggo5 Mas." Sumiyati mempersilakan Zul untuk 
duduk di kursi. 

"Ya Mbak terima kasih." Jawab Zul seraya duduk. 
Sumiyati lalu bergegas ke dapur membuat minuman. 
Sementara Mari dan Iin masuk ke kamar mereka. Mari 
meminta Iin membantu merapikan kamar dan tempat 
tidur. Dan menjelaskan sebaiknya Zul tidur di kamar 
yang ada kamar mandi di dalamnya. Iin sepakat. Dengan 
cepat mereka merapikan dan menyimpan pakaian dan 
perkakas milik kaum perempuan yang tidak sepatutnya 
dilihat kaum lelaki. Setelah mereka lihat rapi dan mereka 
teliti tidak ada yang tidak patut, mereka kembali ke 
ruang tamu dan mempersilakan Zul membawa tasnya 
ke kamar.  


Uziek Collections

Zul menurut. Ia membawa tasnya ke kamar. Ia masuk 
dan menutup pintu. Zul mencium bau wangi di kamar 
itu. Kamar yang bersih dan rapi. Jauh sekali bedanya 
dengan kamarnya dan teman-temannya saat bekerja di 
Batam. Zul mencopot jaketnya. Beberapa menit 
kemudian kamarnya diketuk. 

Ternyata Mari. Membawa nampan berisi teh hangat 
dan satu piring roti donat yang tadi dibeli di supermarket. 
"Istirahat saja. Ini minumnya. Di kamar mandi ada 
sikat gigi yang masih baru, juga sabun cair, bisa kamu 
pakai jika mau mandi. Handuknya sudah saya siapkan 
di kamar mandi." Jelas Mari sambil meletakkan nampan 

itu di atas meja rias. 
"Terima kasih Mbak." 
"Jika perlu apa-apa bisa mengetuk kamar belakang. 

Saya ada di sana." 
"Iya Mbak." 
"Baik. Selamat istirahat." Kata Mari dengan tersenyum. 
Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar 
dengan pelan. 

Zul merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu. 
Terasa nyaman. Tapi ia merasa kulitnya seperti lengket 
dengan pakaiannya. Sangat tidak nyaman. Ia lalu 
beranjak ke kamar mandi dan mandi. Air yang 
mengguyur sekujur tubuhnya itu serasa meremajakan 
seluruh syaramya. Barulah setelah mandi iabisa istirahat 
dengan nyaman. Sesaat sebelum tidur kilatan senyum 
Mari yang tulus terbayang di mata. Ia tersenyum. Tibatiba 
ia teringat perkataan Mari tadi siang, 

"Jujur saja Dik ya, hampir di semua mata lelaki ada 
binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah 
menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan 
untuk menjaga pandangan." 

Ia kembali tersenyum. Lalu terlelap tidur. 





Uziek Collections

Tiga 


Pukul tujuh pagi, Zul baru bangun tidur. la kaget karena 
bangun terlalu siang. Sinar matahari telah menerobos 
jendela dan masuk ke dalam kamarnya. la langsung 
bangkit dan mengambil air wudhu dengan tergesa-gesa. la 
belum shalat Subuh. Ketika hendak shalat ia bingung arah 
kiblat. Terpaksa ia keluar kamar untuk menanyakan arah 
kiblat. Di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang santai, 
Sumiyati dan Iin sedang asyik nonton televisi. 

"Waduh arah kiblat mana ya? Waduh kok saya tidak 
dibangunkan. Jadi terlambat shalat Subuh!" Kata Zul setengah
menggerutu. Tidak jelas kepada siapa kata-kata 

itu ia tujukan. Pada Sumiyati atau pada Iin, atau pada 

kedua-duanya. 

"Maaf Dik, kami segan mau membangunkan. Kiblat 
ke arah jendela Dik." Jawab Iin kalem sambil memandang 
ke arah Zul yang masih jelas bekasnya dari tidur. 

Zul kembali ke kamar dan shalat. Setelah itu ia 

kembali ke ruangan tamu. Ia tidak melihat Mari. 

"Lha Mbak Mar ke mana? Apa masih tidur juga?" 

"Ya tidak. Mbak Mar itu orang paling disiplin di 
rumah ini. Ia sudah bangun sejak jam empat tadi. 
Biasanya shalat Tahajjud. Terus nyuci pakaian. Tadi 
setelah shalat Subuh ia langsung berangkat kerja." Jelas 
Sumiyati santai sambil mengambil kacang tanah yang 
ada di depannya. Lalu mengeluarkan isinya dan 
memasukkan ke dalam mulutnya. 

"O ya sebelum berangkat tadi Mar nitip pesan. Kalau 
kamu sudah bisa menghubungi orang yang kamu tuju 
dan mau pergi pagi ini atau siang ini tidak apa-apa. Kalau 
masih betah dan mau menginap barang satu dua hari 
lagi ya tidak apa-apa. Hanya saja Mar minta kalau siang  


Uziek Collections

ini orang itu tidak juga bisa kauhubungi kau sebaiknya 
menginap semalam lagi. Siang ini dia akan mencoba 
mencarikan informasi tentang tempat yang lebih pas, 
sekaligus informasi tentang pekerjaan jika ada/' Iin 
menyahut. 

"Sebaiknya, siang ini Mas istirahat saja dulu di sini. 
Kan baru datang. Sambil menunggu informasi dari Mbak 
Mar jika nanti ia kembali," sambung Sumiyati memberi 
saran. 

"Saya mau keluar sebentar Mbak. Sekalian lihat-lihat 
lingkungan. Saya mau coba telpon orang yang harus saya 
hubungi itu sekali lagi," kata Zul. 

"Ya, hati-hati Dik. Jangan lupa bawa paspor ya," 
tukas Iin 

Zul keluar mencari telpon. Lima puluh meter dari 
rumah itu ia menemukan warung kelontong, namun di 
situ tertulis kedai runcit. Di warung itu ada wartelnya. 
Dari wartel itu ia mencoba menelpon nomor yang ia catat 
dari Pak Hasan. Berulang-ulang ia menelpon, tapi tidak 
juga berhasil. Ia mencoba menelpon Pak Hasan yang ada 
di Batam juga tidak berhasil. Nomor Pak Hasan sedang 
tidak aktif. Ia kembali ke rumah dan mendapati dua 
perempuan itu telah rapi dan siap pergi. 

"Dik kami harus berangkat kerja. Ini kunci rumah, 
siapa tahu kamu mau keluar. Jika nanti kamu mau pergi 
meninggalkan rumah, tolong rumah dikunci. Dan 
kuncinya letakkan saja di bawah pot bunga itu. Oh ya 
sarapannya sudah kami siapkan di dapur. Makan saja 
yang banyak. Maaf seadanya." Dengan lembut Iin 
menjelaskan. 

"O ya Mas, kalau mau lihat film-film Malaysia. 
Nyalakan saja DVD player itu. DVD-nya ada di rak biru 
itu," sahut Sumiyati. "Kami pergi dulu ya. Yah demi 
mencari sesuap nasi Mas." Imbuhnya sambil membuka 
pintu. Mereka berdua lalu bergegas meninggalkan 
rumah. Ketika mereka sampai di halaman hendak 
membuka pintu gerbang, sebuah mobil sedan Proton 



Uziek Collections

Wira berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang 
perempuan berpakaian sangat ketat keluar dari mobil itu. la
melambaikan tangan pada pengendara mobil yang 
bermata sipit. 
"Baru pulang Lin?" sapa Iin. 
"Iya Mbak. Tadi ketiduran di hotel," jawab perempuan 
itu santai. 
Zul melihat dari pintu yang masih terbuka. 

"Kamu itu mbok ya ingat akhirat meskipun sedikitsedikitlah 
Lin? Ingatlah hari akhir kelak Lin!" Iin 
menasihati dengan suara lembut. 

"Aduh Mbak, kalau mau ceramah di masjid saja. 
Saya sedang capek nih. Sory ya Mbak. Saya harus 
istirahat. Lha itu kok ada cowok di rumah kita. Siapa 
dial?" ketus Linda. 

"Itu adik saya dari Demak," jawab Iin. 
"Orangnya baik kok Lin. Namanya Zul. Jangan takut 
santai saja," timpal Sumiyati. 
"Siapa yang takut. Saya tak pernah takut sama lelaki. 
Apalagi lelaki Indonesia kurus kaya gitu. Lelaki dari 
Amerika, Rusia bahkan Nigeria sekalipun saya tidak 
pernah takut! Kenapa kalian masih mematung saja di 
sini. Nanti kalian terlambat didamprat sama majikan baru 
tahu rasa!" sengit Linda. 
"Ya udah kami berangkat dulu. Jaga rumah baikbaik 
ya Lin." 
"Ya," jawab Linda singkat sambil beranjak masuk 
rumah. 
Ketika masuk rumah dan melewati Zul yang berdiri 
di samping pintu Linda menyapa datar, 
"Halo Mas, baru datang dari Indonesia ya?" 

"Iya," jawab Zul singkat. 
Linda langsung masuk ke dalam kamarnya. 
Sementara Zul masih berdiri di samping pintu memandang 
lurus ke depan, ke halaman dan jalan. la mendengar 
dengan jelas percakapan tiga perempuan itu. Dan ia bisa 
meraba, kira-kira apa pekerjaan perempuan muda 
bernama Linda yang baru saja menyapanya itu. Dan 
siang itu ia bisa jadi hanya akan berdua bersama Linda  


Uziek Collections

di rumah yang sepi itu. Ia berpikir apa yang akan ia 
kerjakan seharian di rumah itu. Apakah ia akan hanya 
tidur di kamar? Bagaimana kalau Linda mengajak 
berbincang-bincang? Apakah ia akan bersikap cuek saja 
terhadap Linda? Ataukah ia akan berpura-pura bersikap 
baik kepadanya. Sebab ia paling tidak suka dengan 
perempuan yang memiliki tanda-tanda sebagai perempuan 
tidak benar. Dari cara Linda berpakaian dan dari 
pembicaraan yang baru saja ia dengar, ia memiliki firasat 
kuat bahwa Linda adalah jenis perempuan tidak benar. 
Zul mengambil nafas panjang. Ia belum bisa memutuskan 
akan bersikap bagaimana. 

"Mas pintunya ditutup saja. Di sini tidak lazim 
membuka pintu lama-lama." Seru Linda dari kamarnya 
yang hanya berjarak beberapa meter dari 
tempat Zul berdiri. Secara reflek Zul menengok ke arah 
suara. Pintu kamar Linda terbuka lebar dan Linda 
merebahkan tubuhnya begitu saja di tempat tidurnya, 
dengan sepatu hak tingginya masih terpasang di kedua 
kakinya. Zul merasakan getaran dalam dadanya. Ia 
langsung menutup pintu dan bergegas masuk ke 
dalam kamarnya. 

Sementara Iin dan Sumi masih berjalan ke arah 
hentian bus. Dalam hati Iin memanjatkan doa agar Linda 
kembali ke jalan yang benar. Ada yang meleleh dari 
kedua matanya yang berkaca-kaca. la sangat sayang 
pada gadis cantik—yang sudah tidak gadis lagi—itu. la 
ingat bagaimana awal perjumpaannya dengan Linda di 
pagi yang cerah di KBRI Kuala Lumpur. Linda yang 
berwajah Indo itu memperkenalkan diri sebagai 
karyawati sebuah kantor maskapai penerbangan di 
Kuala Lumpur. Pagi itu Linda ada sedikit urusan di 
bagian konsuler. la tidak menanyakan detil urusan Linda 
sebenarnya. la sendiri punya urusan yang membuatnya 
pusing, gajinya selama lima bulan tidak dibayar oleh 
majikan. la hendak melaporkan hal itu ke pihak KBRI. 
Dari yang tak lebih dari dua puluh menit itu ia tahu Linda 
memiliki cita-cita yang tinggi. Linda bercerita tentang 
keinginannya melanjutkan kuliah sampai S.3 di negeri 
tempat ia dilahirkan, yaitu Belanda. 




Uziek Collections

"Saya harus cari uang dulu. Ibu saya tidak mungkin 
membiayai saya kuliah. Ayah saya, saya tidak mengenalnya 
sejak kecil. Ibu hanya cerita ia orang Belanda dan 
sudah menikah lagi di sana. Sudah jadi orang penting di 
Belanda. Ibu saya tidak meridhai jika saya minta uang 
sepeser pun pada ayah saya. Kata ibu saya, saya boleh 
ke Belanda, tapi tidak boleh mengemis pada ayah saya, 
atau keluarga ayah saya. Ibu saya sangat dendam pada 
ayah saya, dan dendamnya itu telah diwariskan pada 
saya. Saya tidak akan menceritakan perihal dendam itu. 
Pokoknya dendam yang sangat menyakitkan. Intinya 
ayah saya pernah memperlakukan ibu saya dengan 

sangat tidak manusiawi di Belanda. Dan itu saat mengandung 
saya. 

"Ya alhamdulillah, berkat peluh dan keringat ibu 
saya, akhirnya saya bisa selesai kuliah di Jakarta dan 
langsung mendapat pekerjaan. Sekarang saya bisa kerja 
di Kuala Lumpur ini dengan gaji yang lumayan. Saya 
akan menabung. Kalau bisa saya akan lanjut kuliah S.2 
di sini baru nanti S.3 di Belanda. Jika saya sudah sukses, 
kaya dan bermartabat, saya akan ajak ibu saya menemui 
ayah saya dengan kepala tegak. Bahkan saya bercitacita 
harus kaya hingga saya nanti bisa punya perusahaan 
besar di Belanda. Harus lebih kaya dari Mr. Van 
Braskamp. 

"Van Braskamp itulah nama ayah saya. Dia seorang 
Belanda. Tapi saya sama sekali tidak kenal budaya 
Belanda. Saya sejak umur dua tahun sudah di Sunda. 
Hidup bersama kakek dan nenek saya. Ayah saya tidak 
meninggalkan apa-apa kepada saya kecuali warna 
kulitnya yang membuat saya lebih putih dari ibu saya. 
Itu saja. Tapi saya akan membuktikan pada ayah saya 
itu, suatu saat saya bisa lebih terhormat dari ayah saya 
di negeri ayah saya. Itulah cita-cita saya Mbak Iin. Kalau 
Mbak Iin punya cita-cita apa? Untuk apa kerja di 
Malaysia ini?" 

Iin masih ingat saat itu ia hanya menggelengkan 
kepala lalu menjawab, 
 


Uziek Collections

"Saya tidak punya cita-cita yang tinggi seperti Dik 
Linda. Saya hanya ingin dapat uang. Bisa membiayai 
suami saya yang sedang sakit dan bisa membiayai dua 
anak saya yang masih kecil-kecil yang sekarang diasuh oleh
adik saya. Itu saja. Juga punya tabungan untuk buka 

warung di kampung. Itu saja Dik Linda." 

Saat itu Linda tersenyum dan mengangkat kedua 

tangannya seraya berdoa, 

"Semoga cita-cita Mbak Iin dikabulkan oleh Allah. 

Amin." 

Dalam hati ia ikut mengamini. 

Di pertemuan yang singkat itu, ia sempat bertukar 
nomor hand phone dengan Linda. Linda yang memberi 
nomornya dulu. 

"Mbak ini nomor hope saya. Siapa tahu Mbak atau 
teman Mbak ada yang ingin pulang liburan. Bisa pesan 
tiketkesaya." 

Sejak itulah ia sering berkomunikasi dengan Linda. 
Beberapa kali ia bertemu dengan Linda tanpa sengaja di 
Menara Kembar Petronas KLCC. Seringkali Linda 
mentraktirnya makan. Selesai makan biasanya mengajak 
shalat di surau yang ada di sana. Ia melihat Linda begitu 
agamis. Dan dalam balutan jilbab muka Indo itu bagai 
bidadari surga yang turun ke bumi. Ia sangat takjub pada 
keelokan dan kebaikan Linda. Dari rasa takjub itulah rasa 
sayangnya pada Linda terbit. 

Sejak kenal dengan Linda, ia sering membayangkan 
alangkah enaknya bisa kerja seperti Linda. Duduk tenang 
di kantor yang ber-AC dengan bayaran yang tinggi. 
Kerjanya cuma mengangkat telpon. Lihat layar 
komputer. Dan nulis nota. Tidak seperti dirinya yang 
harus kerja di Warung Runcit6 dengan majikan yang kasar dan
pelit. Itulah yang ia pikirkan pada waktu itu. 



Uziek Collections

Dan ia merasa alangkah beruntungnya Linda. Cantik, 
pintar, masih sangat muda, dan berpenghasilan tinggi. 
Tapi ia segera menyadari siapakah dirinya dan siapakah 
Linda. Dirinya tak lebih hanya lulusan MTs dengan 
penampilan sangat biasa, sementara Linda sudah sarjana 
dan cantik pula. Pekerjaan kantor sepertinya tidak boleh 
dikerjakan oleh orang desa—dengan wajah pas-pasan— 
yang hanya lulusan MTs seperti dirinya. 

Tapi jika melihat kehidupan Linda saat ini, ia yang 
hanya orang desa dan cuma lulusan MTs seperti dirinya 
merasa lebih bahagia daripada Linda. Buat apa pandai, 
sarjana dan cantik jika hanya menjadi budak nafsu dan 
setan. Dan hidup dalam lembah kehinaan. 

Baginya, sebagai wanita, kehormatan diri dan 
kesucian diri adalah harta paling berharga setelah iman 
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Entah sudah berapa 
kali ia berusaha mengingatkan Linda, baik dengan cara 
yang paling halus maupun cara yang sangat terangterangan. 
Baik dengan sindiran maupun ancaman siksa 
neraka jahanam. Tapi ia melihat Linda sama sekali tidak 
ada perubahan. Bahkan shalat pun sudah ia tinggalkan. 
Ia sudah jarang melihat wajah blesteran Sunda Belanda 
itu berbalut mukena putih. Ia merasa bidadari surga yang 
turun ke bumi itu telah hilang. 

Jika menghayati apa yang terjadi pada Linda, 
hatinya sering miris dan merinding. Betapa berbedanya 
Linda yang dulu dengan sekarang. Alangkah mudahnya 
ketakwaan itu sirna dan iman itu hilang lenyap di akhfr 
zaman seperti sekarang. Tidak sedikit orang yang dulu dikenal
karena ketakwaannya tiba-tiba dalam waktu tak 

lama dikenal karena kedurhakaannya. 

"Na'udzubillahi min dzalik. Ya Rabbi, jauhkanlah 
hamba dari itu semua. Jangan Kaubiarkan iman ini lepas 
dari hati hamba sedetik pun." Doanya dalam hati sambil 
mengusap airmatanya. 

"Kenapa menangis Mbak Iin?" tanya Sumiyati. 
"Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan sama Linda.  


Uziek Collections

Jauh-jauh merantau ke sini, siang malam hanya untuk 
menjual kehormatan dan bermaksiat. Kalau tidak mau 
bertaubat sungguh kasihan. Rugi di dunia, rugi di 
akhirat." 
"Iya Mbak. Aku masih ingat awal-awal Linda hidup 

bersama kita, ia masih shalat dan masih mau membaca 
Yasin. Tapi sekarang sepertinya dia tidak memiliki Tuhan." 
"Hus. Jangan bilang begitu Sum!" bentak Iin, 

"Semoga saja semaksiat-maksiatnya Linda, dia masih 
mengakui Allah sebagai Tuhannya," lanjutnya. 

"Semoga saja Mbak. Hidup di perantauan seperti kita 
ini memang tidak mudah. Keimanan kita benar-benar 
dipertaruhkan. Mbak tolong doakan saya ya. Itu, si Karan 
kawan kerja saya di restoran sering menggoda saya. Saya
takut tergoda Mbak." 
"Kau harus kuat Sum. Imanmu harus terus kaupupuk. 
Kita harus sating menguatkan dan mengingatkan. 
Kita harus sating mengingatkan bahwa 
perzinahan itu termasuk dosa besar. Dan sekali orang 
berzina, orang itu akan sulit lepas dari belenggu dosa 
itu. Sangat memungkinkan ia akan melakukan yang kedua,
ketiga dan seterusnya. Dan itulah yang dikehendaki 
setan. Jangan kita biarkan diri kita terperangkap 
oleh kesempatan melakukan dosa besar itu. 
Sebisa mungkin kesempatan itu jangan dibiarkan ada. 
Aku sendiri Sum, aku mengakui diriku tidak cantik. 
Tetapi aku juga mengalami apa yang kaualami. Banyak 
yang menggoda. Tapi aku berusaha untuk kuat dan 
berusaha menjaga agar jangan sampai setan menciptakan 
kesempatan melakukan perbuatan dosa besar itu. Sebab, 
jika kesempatan itu tercipta, aku kuatir imanku tidak kuat 
untuk mencegahnya. Di antara caraku menjaga diri 
adalah dengan tidak pernah meladeni segala bentuk 
keisengan mereka yang menggodaku. Termasuk SMS 
yang hanya iseng. Aku selalu berangkat tepat waktu dan 
begitu saatnya pulang aku langsung pulang. Tidak 
berlama-lama ngobrol di tempat kerja." 

"Gitu Mbak ya?" 




Uziek Collections

"Iya." 

"Wah, untung Mbak kasih tahu. Si Karan itu 
inginnya ngajak ngobrol terus selesai kerja. Ia bahkan 
sering ngajak nonton film." 
"Kalau ingin selamat, jangan kautanggapi sedikit pun." 
"Iya Mbak." 

"Linda pernah cerita, ia menjadi seperti sekarang ini 
bermula dari menanggapi SMS iseng teman kerjanya, 
seorang pria muda asal Singapura." 

"Cerita detilnya bagaimana Mbak?" 
"Aku juga tidak tahu Sum. Linda hanya pernah 
menyinggung bahwa semuanya bermula dari SMS iseng
seorang teman kerja asal Singapura. Seorang pria muda 
yang menawan. Itu saja." 
"Eh Mbak itu busnya datang. Ayo cepat!" teriak 
Sumiyati. 
"Wah iya Sum, itu bus kita! Sahut Iin dengan mata 
berbinar. 

Mereka berdua langsung mempercepat langkah. Bus 
Rapid KL semakin mendekat, merapat di halte, lalu 
menurunkan dan menaikkan penumpang. Kedua 
perempuan itu mengejar dengan setengah berlari, takut 
ketinggalan. 

* * * 

Zul tidur di kamarnya, yang tak lain adalah kamar 
Mari. Kedua matanya memandang langit-langit kamar 
yang berwarna putih bersih. Sementara pikirannya 
melayang ke mana-mana. Melayang ke perjalanan dari 
Batam hingga ketemu Mari. Dan sampai di rumah yang 
sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia 
masih juga berpikir apa yang harus ia lakukan siang itu. 
Apakah tetap diam di rumah itu menunggu Mari pulang. 
Sehingga ia bisa mendapat informasi dari Mari. Ataukah 
ia nekat saja pergi dari rumah itu. Kenapa ia mesti 
menunggu informasi dari Mari. Bukankah ia bisa nekat, 
sebagaimana selama ini ia selalu nekat. Dan bukankah 
sebenarnya ia pergi ke Malaysia juga berbekal nekat.  


Uziek Collections


Kalau ia nekat pergi dari rumah itu, siang itu juga, 
lalu ia mau pergi ke mana? Ia tidak hafal Kuala Lumpur 
dan sekitarnya. Apa asal pergi saja. Yang penting jalan. 
Seperti waktu ia dulu nekat ke Jakarta. Tapi ia nyaris mati di
Jakarta karena dikeroyok berandalan jalanan. Apa ia 
akan mengulangi nasib yang sama. Dan jika ia nekat, 
berapa lama ia akan bisa bertahan? Uang yang ia bawa 
sangat pas-pasan. Tak lebih dari seratus lima puluh 
ringgit. Berapa lama ia bisa bertahan dengan seratus lima 
puluh ringgit? 

Ia lalu berpikir realistis, apa salahnya menunggu 
Mari pulang. Ia bisa dapat informasi yang lebih jelas. 
Mungkin informasi ada pekerjaan yang membuatnya 
bisa bertahan bahkan bisa memperbaiki nasib. Apa 
salahnya menunggu sampai sore hari. Ia bisa tidur 
seharian di kamar itu dengan pintu terkunci. Toh di kamar 
itu ada kamar mandi dan WC-nya. Ia tidak perlu keluar. 
Juga, tidak baik rasanya meninggalkan rumah itu tanpa 
terlebih dulu pamitan pada Mari, yang begitu baik 
padanya. Ia akhirnya mantap untuk tetap di rumah itu 
siang itu, sampai Mari pulang. Jika Mari pulang dan ia 
telah mendapatkan informasi dan petunjuk yang 
mungkin sangat penting baginya, maka ia bisa pergi. 

Zul mencoba berkonsentrasi memejamkan kedua 
matanya, ia ingin tidur lagi. Namun konsentrasinya 
buyar begitu telinga mendengar suara orang mandi. Ia 
langsung yakin yang mandi itu adalah Linda. Sejurus 
kemudian ia mendengar televisi dinyalakan. Ia lalu 
mendengar lagu-lagu India dibunyikan dengan sedikit 
keras. Ia benar-benar tidak bisa memejamkan kedua 
matanya. 

Ia lalu bangkit dari kasur. Ia yakin tidak bisa tidur. 
Ia lalu melihat-melihat isi kamar itu, ia mencari sesuatu 
yang bisa dibacanya. Di samping meja rias ia melihat setumpuk
majalah dan koran. Juga ada beberapa buku. 
Ia lihat buku-buku itu. Buku-buku ekonomi berbahasa 
Inggris. Ia ambil satu. Judulnya International Monetary 
and Financial Economics. Ia buka buku itu. Di halaman 
paling depan ia menemukan nama pemilik buku itu 



Uziek Collections

tertulis dengan tinta biru. Liew Su Ying. Nama China. 

Di bawah buku itu ada buku bersampul biru tua. Ia 
ambil. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game 
Theory with Applications to Economics. Ia
menggelenggelengkan 
kepala. Orang yang bisa memahami buku 
seperti itu pastilah bahasa Inggrisnya mantap. Ia buka 
halaman depan. Nama pemilik buku dan tanda 
tangannya tertulis di situ. Laila Binti Abdul Majid, TTDI, 
Kuala Lumpur. Ia yakin itu nama perempuan Melayu. 

Ia jadi bertanya-tanya, kenapa buku ekonomi seperti 
itu bisa ada di dalam kamar Mari dan Iin? Siapakah yang 
selama ini membaca buku itu? Mari kah? Atau Iin kah? 
Apakah mungkin mereka berdua bisa memahami buku 
berbahasa Inggris? Tiba-tiba ia tersenyum, mengapa ia 
bisa sebodoh itu. Bisa jadi orang China yang namanya 
tertulis sebagai pemilik buku itu adalah orang yang 
memiliki rumah ini. Bukankah ini rumah sewa? Dan 
bukankah Mari mengatakan pemiliknya adalah orang 
China? Ia menduga pemiliknya adalah orang China yang 
menikah dengan perempuan Melayu. 

Sangat mungkin, pemilik rumah itu tidak mengemasi 
bukunya dan membiarkan buku-bukunya tergeletak 
begitu saja di kamar itu. Lalu Mari dan Iin menatanya 
jadi satu dengan majalah dan koran di samping meja , 
rias. Atau entahlah, yang jelas ia menafikan jika yang 

punya dan yang membaca buku-buku ekonomi 
berbahasa Inggris itu adalah Mari atau Iin. Melihat 
tampang dan penampilan mereka sangat meragukan, 
dan sangat tidak meyakinkan. 

la lalu melihat-lihat beberapa majalah. Ada yang 
terbitan Indonesia, Malaysia, Singapura dan bahkan 
Hongkong. la mengambil yang terbitan Indonesia. la 
bawa ke kasur. la baca sambil tiduran. Tak berapa lama 
kemudian ia merasa mengantuk. Entah kenapa setiap 
kali ia membaca rasa kantuk itu menyerang dengan 
cepat. Saat ia berada di antara sadar dan tidak sadar 
karena mulai masuk ridur, sayup-sayup ia mendengar  


Uziek Collections

pintu kamarnya diketuk beberapa kali. Ia tidak jadi 
memejamkan mata. 

"Mas! Mas! Halloo! Buka dong!" 

Itu jelas suara Linda. 

"Iya. Sebentar!" sahutnya sambil bangkit menuju 
pintu. 
Begitu pintu ia buka, tampaklah wajah Linda yang 
sangat berbeda dengan wajah yang tadi ia lihat saat 
Linda baru datang. Wajah Linda yang ada di hadapannya 
tampak segar, dan menawan. Linda menyungging 
senyum yang membuat dadanya berdesir. Ia sepertinya 
belum pernah melihat pesona sesegar wajah Indo yang 
ada di hadapannya. 
"Hallo Mas, maaf mengganggu. Tadi kita belum 
kenalan. Kenalkan namaku Linda. Lengkapnya Linda 
Van Braskamp. Aku kerja di sebuah hotel berbintang di 
Kuala Lumpur." Sapa Linda sambil mengacungkan 
tangan kanannya mengajak berjabat tangan. Zul langsung
menjabat tangan itu sambil memperkenalkan 
dirinya, 
"E... nama saya Ahmad Zul. Saya berasal dari 
Demak. Mbak Linda orang Belanda ya?" 

"Ya. Ada darah Belanda. Tepatnya blesteran Sunda-
Belanda. Tapi aku tetap merasa sebagai orang Indonesia. 
O ya kapan Mas Zul sampai?" 

"Tadi malam." 

"Berarti bareng Mbak Mar?" 

"Ya." 

"Tadi Mbak Iin cerita, Mas adiknya Mbak Iin, 

benar?" 
Zul tersenyum mendengarnya, ia lalu menjawab, 
"Dikatakan adiknya Mbak Iinjuga boleh." 
"Lho kok gitu. Kok ada juga bolehnya. Jadi 




Uziek Collections

sebenarnya bukan adiknya Mbak Iin?" 
"Ah itu tidak penting. Tadi baru pulang kerja ya?" 
"Iya saat ini aku kena sif malam. Jadi manusia 

kelelawar. Malam jadwalnya kerja, siang jadwalnya 
istirahat." 
"Jadi siang ini mau di rumah saja?" 

"Lha iya lah. Kan harus istirahat. Tapi aku lapar sekali. 
Mau keluar cari makanan rasanya malas sekali. Aku 
tengok di dapur ada nasi goreng. Itu pasti disedikan 
untuk Mas Zul. Boleh saya minta sedikit Mas. Atau kita 
makan bareng. Bagaimana? Mas Zul belum sarapan 
kan?" 

"Belum." 

"Ayo kalau begitu kita makan bersama. Kita makan 
di ruang tamu saja. Sambil ngobrol. Oh ya Mas Zul mau 
minum apa? Aku bikinkan." 

"Teh panas boleh." 

"Baik. Mas Zul tunggu di ruang tamu saja ya, sambil 
nonton televisi." 
"Baik." 
Linda ke dapur membuat minuman dan mengambil 

makanan. Zul melangkah ke ruang tamu lalu duduk di 
sofa sambil membaca majalah yang tadi ia baca. Tak 
lama kemudian Linda muncul dengan membawa 
nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh 
manis. Zul mendongakkan muka dan melihat ke arah 
Linda yang datang. Barulah ia memperhatikan pakaian 
yang dipakai Linda, yang tadi tidak ia perhatikan. Linda 
memakai gaun yang hanya pantas dipakai di kamar 
tidurnya saja. Zul seperti terpaku dan terbelenggu di 
tempat duduknya. Tubuhnya terasa kaku. 

Linda meletakkan nampan di meja dan langsung 
duduk di samping Zul. Bau wangi parfum Linda tercium 
jelas oleh hidung Zul. Zul tidak bisa konsentrasi makan, 
ia masih menata pikirannya yang ia rasakan mulai kacau.  


Uziek Collections


"Kok bengong saja Mas. Ayo dimakan. Tadi nasinya 
sudah saya hangatkan. Kalau dingin tidak enak." 
"E... iya Mbak." 

Zul mengambil piring berisi nasi goreng dan mulai 
menyantapnya pelan-pelan. Ia masih terus berjuang 
menata kembali pikirannya yang mulai berpikir yang 

"Rencana siang ini Mas Zul mau ke mana? Kalau tidak 
ada rencana, di rumah saja menemani aku. Aku bawa film 
Hollywood terbaru. Kita nonton berdua saja di rumah. 
Kalau nonton film sendirian rasanya tidak seru." 

"Saya belum ada rencana. Tidak tahulah. Saya 
sebenarnya ingin jalan-jalan." 

"Sebenarnya aku ingin sekali nemani jalan-jalan. Tapi 
kurasa, aku harus istirahat dan nyantai di rumah. Kalau 
Mas mau jalan-jalan sendiri tidak apa-apa. Kebetulan aku 
ada kunci dobel. Sebentar ya." 

Linda menghentikan makannya dan beranjak ke 
kamarnya. Lalu keluar dengan membawa kunci. 

"Ini bawa saja. Yang ini kunci gembok pintu besi dan 
yang ini kunci pintu. Kalau Mas keluar dan saat pulang 
aku sedang tidur tidak perlu membangunkan aku. Bawa 
saja kunci ini selama Mas di sini." 

"Terima kasih." 

"O ya ngomong-ngomong Mas mau kerja di mana? 

Sudah ada agen yang mengatur?" 
"Belum tahu. Masih mencari." 
"O jadi belum dapat kerja. Begini Mas, ini kalau Mas 

mau. Bagaimana kalau kerja di hotel tempat aku kerja. Tapi 
kerjanya malam sih. Kalau mau, bisa aku coba hubungkan 
ke pihak personalia. Aku kenal baik dengan penanggung 
jawabnya. Gajinya lumayan kok. Bagaimana?" 




Uziek Collections

"Nanti saya pikirkan." 
"Sejak jumpa pertama kali tadi, kulihat Mas memang 
banyak berpikir dan merenung. Jangan terlalu dibuat 
serius hidup ini Mas, cepat tua nanti. Itu Mbak Mar, coba 

nanti kalau ketemu kauamati dia baik-baik, karena ia 
juga terlalu serius memikirkan hidup jadi kelihatan jauh 
lebih tua dari umurnya. Padahal ia hanya selisih satu 
tahun saja dariku." 

"Benarkah?" 
"Serius. Mbak Mar itu terlalu banyak mikir. 
Semuanya dia pikir. Mau makan saja dia mikir, ini halal 
tidak, haram tidak. Kalau aku sih selama enak kenapa 

tidak? Sekarang aku menemukan agama baru. " 
"Agama baru?" 
"Ya. Aku kasih nama agama enak. Pokoknya segala 

yang enak-enak itu jadi ajarannya. Itulah agamaku 
sekarang. Tuhannya adalah Tuhan yang maha membebaskan 
manusia untuk berenak-enak." 

"Astaghfirullah. Meskipun yang kelihatannya enak 
itu dilarang agama." 

"Agama yang mana? Kalau agamaku tadi ya jelas 
tidak melarang. Kalau agama Islam seperti agamamu, 
aku yakin kau Islam, ya aku tidak tahu." 

"Wah itu namanya agama hawa nafsu." 

"Terserah, aku tidak peduli. Yang jelas aku merasa 
enak, merasa bebas, merasa merdeka." 
"Kalau di KTP apa agamamu?" 
"Ya Islam." 
"Lho kok Islam?" 
"Ya untuk formalitas saja. Biar tidak membuat sedih 

banyak orang. Termasuk kakek dan nenek saya yang 
sangat fanatik dengan agama Islamnya." 

"Itu berarti kamu munafik."  


Uziek Collections

"Kalau munafik itu enak kenapa tidak?" 
Zul jadi pusing memikirkan makhluk di hadapannya. 


la tidak mengira akan pernah menjumpai manusia seperti 
itu dengan cara berpikir seperti itu. 

"Baiklah Mas, saya akan cerita sedikit tentang 
pekerjaan saya. Daripada nanti Mas mendengar cerita 
yang sinis dari orang lain. Lebih baik Mas langsung 
mendengar dari saya. Lebih baik saya jujur daripada saya 
disebut munafik lagi. Sudah saya katakan agama saya 
adalah agama enak. Pokoknya yang enak-enak itulah inti 
ajarannya. Maka saya cari profesi adalah juga profesi yang 
menurut saya paling enak. Dalam ajaran agama saya, 
profesi saya tidaklah sebuah kejahatan. Tapi di agama lain 
bisa jadi profesi saya disebut sebuah kejahatan bahkan 
dosa besar. Aku tak peduli, aku punya agama sendiri. 

"Profesi saya adalah menyenangkan orang-orang 
penting. Orang-orang yang memerlukan hiburan. 
Pekerjaan saya adalah menghiburnya. Tapi orang-orang 
awam menyebut orang seperti saya ini sebagai pelacur. Ada 
juga yang menyebut sebagai perempuan sundal.
Macammacamlah 
sebutannya. Tapi saya, berpegang pada 
keyakinan saya, maka saya menyebut diri saya adalah 
seniwati. Saya menjual jasa. Dan jasa saya adalah seni dan 
keindahan. Itulah saya Mas. Bagaimana menurut Mas?" 

"Aku hanya merasa kasihan padamu?" 

"Kasihan, kenapa kasihan?" 

"Entahlah, hanya merasa kasihan saja. Aku ini orang 

awam juga. Tidak tahu apa-apa. Agama juga tidak tahu. 

Hanya mendengar apa yang kaukatakan nuraniku 
mengatakan orang seperti kamu ini sebenarnya bukan 
hidup enak dan hidup senang. Tapi hidup dalam keadaan 
sangat memprihatinkan. Dan perlu dikasihani." 




Uziek Collections

"O ya?" 
"Terserah. Cuma aku yakin, yang tadi bicara bukan 
nuranimu tapi nafsumu. Nanti suatu ketika saat engkau 
menderita sakit, coba aku ingin dengar apa yang akan 
kaukatakan dan kauucapkan?" 
"Kau ini jahat. Masak berharap aku sakit dan 
menderita." 
"Kau salah sangka. Sama sekali aku tidak berharap. 
Tapi manusia yang normal terkadang ada saatnya sakit 
juga. Saat sakit itulah manusia lebih banyak berbicara 
dengan nuraninya daripada dengan nafsunya. Lha saya 
ingin tahu apa yang akan kaukatakan saat kau dalam 
keadaan seperti itu. Apakah berarti saat kau sakit kau 
sudah tidak beragama lagi. Karena rasa enak itu sudah 
tidak ada lagi. Atau bagaimana?" 
"Saya akan bertahan dengan agama saya. Saya 
yakin dengan temuan saya." 
"Yah kalau begitu, bagimu agamamu dan bagiku 
agamaku." 

* * * 
 


Uziek Collections

Empat 


Selesai makan Zul memutuskan untuk jalan-jalan ke 
pusat kota. la merasa imannya tidak kuat jika di rumah 
itu terus, dan berduaan dengan Linda. la menyadari 
dirinya hanyalah pemuda biasa yang masih lemah 
imannya. Yang masih sering kalah melawan hawa 
nafsunya sendiri. Tingkat ketakwaannya belumlah 
sampai pada tingkatan Nabi Yusuf yang mampu 
menepis godaan Zulaikha. la merasa setan yang ada 
dalam dirinya lebih kuat dari dirinya. Maka ia harus 
mengambil tindakan penyelamatan dan waspada. Ia 
tidak ingin membuat dirinya celaka. Ia baru sampai di negeri
orang. Mau tinggal di mana saja belum jelas. 
Pekerjaan juga belum jelas. Melangkahkan kaki mau ke 
mana saja belum jelas. Maka ia tidak mau terjebak dalam 
situasi yang mengakibatkan penyesalan. Ia teringat pesan 
Mar saat menyebut nama Linda pertama kalinya, 

"Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati 
jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan 
membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus 
jaga iman kalau berhadapan dengannya!" 

Tak ada jalan lain baginya kecuali pergi dan menjauh 
dari sumber petaka. Api jika tidak bisa dilawan dan 
dipadamkan maka jalan selamat adalah lari menjauh dari 
api itu. Jika tidak maka api itu akan membakar dan 
menghancurkan. 

"Maaf Mbak Linda, rasanya saya harus keluar jalanjalan. 
Saya ingin melihat-lihat suasana. Bosan di rumah 
terus. Nanti malam habis Maghrib mungkin saya datang 
lagi. Tas danbarang-barang saya masih di kamar," kata 
Zul pada Linda. 

"O ya. Hati-hati di jalan. Sudah bawa paspornya?" 
sahut Linda 
"Sudah. Kalau mau ke pusat kota Kuala Lumpur 
naik apa ya?" 
"Tadi malam datang pakai apa?" 
"Bus " 



Uziek Collections

"Rapid KL ya?" 
"Iya." 
"Kalau begitu naik saja dari tempat kau tadi malam 
turun dan naik bus yang sama." 

"Baik. Terima kasih. Salam buat Mbak Mar, Mbak 
Iin, dan Mbak Sumiyati." 
"Baik. Kalau ada apa-apa bisa telpon kami ya. Sudah 
tahu nomor hp saya?" 
"Belum." 
"Kalau nomor Mbak Mar sudah tahu?" 
"Sudah." 
"Ya sudah. Itu cukup." 
"Sekali lagi terima kasih. Saya pergi dulu." 
"Ya, sekali lagi hati-hati di jalan. Jangan sampai tidur 
di bus ya," canda Linda. 

Zul menjawab dengan senyum lalu beranjak 
meninggalkan Linda sendirian. Ia pergi hanya membawa 
tas cangklong hitam berisi map dokumen-dokumennya, 
sepotong sarung, dan kaos panjang. Itu saja. Ia merasa 
mantap. Jika ia bisa menaklukkan Jakarta dan Batam, 
maka ia sangat yakin ia pun bisa menaklukkan Kuala 
Lumpur. Sepintas ketika ia tiba di Purduraya, ia melihat 
suasana terminal bus paling padat di Kuala Lumpur itu 
tidak seganas Pulogadung dan Kampung Rambutan 
Jakarta. Ia pernah berkelahi dengan preman Pulogadung 
dan tetap bisa hidup. Ia juga pernah ditodong preman 
Kampung Rambutan dan bisa lolos. Jika ia terpaksa harus 
bertemu dengan preman Kuala Lumpur ia merasa tak 
perlu gentar. Orang Demak tidak boleh gentar berhadapan 
dengan situasi apapun juga. 

Dari Subang Jaya ia naik bus Rapid KL ke terminal 
KL Sentral. Di KL Sentral ia sempat bingung mau ke 
mana. Ia berinisiatif untuk mencoba menghubungi lagi nama
yang diberi oleh Pak Hasan sekali lagi. Setelah 
bertanya kepada seorang lelaki India ia menemukan 
telpon umum. Dari telpon umum ia menghubungi dan 
masuk. Ia sangat berbahagia seperti mendapatkan rejeki 
nomplok yang tiada terkira jumlahnya. 

"Ini Pak Rusli ya?" tanyanya.  


Uziek Collections


"Iya benar. Ini siape?" 

"Saya Zul Pak. Saya mendapat nama dan nomor 

Bapak dari Pak Hasan Batam." 
"O ya ya. Pak Hasan sehat ya?" 
"Alhamdulillah Pak. Bagaimana caranya saya bisa 

bertemu Bapak? Saya baru datang tadi malam dan tidak 
banyak tahu tentang Kuala Lumpur. Terus terang saya 
perlu sedikit bantuan Bapak." 

"Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu 
Saudara. Adik sekarang di mana?" 
"Di KL Sentral Pak." 

"Begini saja Dik. Dari KL Sentra adik naik KTM ke 
Stesyen Mad Valley. Saya jemput di sana. Baru nanti kira 
bicarakan segalanya dengan lebih leluasa." 

"Apa tadi Pak, KTM ya?" 

"Ya KTM, atau kereta listrik. Ingat ke Mad Valley! Turun 
di Mad Valley. Saya memakai baju koko hijau lumut." 
"Baik Pak. Terima kasih." 
Tidak sulit baginya untuk naik KTM dan tidak sulit 

untuk mencapai Mad Valley. Siang itu, ia merasa 
bahagia, sebab disambut dengan hangat oleh Pak Rusli, 
yang tak lain adalah seorang murid Pak Hasan saat belajar 
di Padang. Pak Hasan pernah mengajar di sebuah 

202 


pesantren di Padang sebelum berdakwah di Batam. Pak 
Rusli mengajaknya makan siang di restoran Saji Selera 
yang letaknya tak jauh dari Mad Valley Plaza. 

"Jadi yang mendorong adik ke Kuala Lumpur ini Pak 
Hasan?" 
"Iya Pak." 



Uziek Collections


"Itu maknanya adik diminta untuk belajar. Menuntut 
ilmu. Saya tahu persis siapa Pak Hasan. Tapi adik tidak 
akan bisa melanjutkan studi di sini, kalau tidak dengan 
bekerja. Dari mana uang untuk membayar kuliah kalau 
tidak dicari dengan bekerja? Iya kan?" 

"Iya Pak." 
"Jangan kuatir. Di sini banyak kok mahasiswa yang 
kuliah sambil bekerja. Nanti kau akan aku temukan 
dengan mereka. Insya Allah mereka akan banyak 
membantu. Terutama berkenaan dengan urusan 

pendaftaran di kampus. O ya kaubawa ijazah kan?" 
"Bawa Pak." 
"Dulu kuliah di mana?" 
"Di IKIP PGRI Semarang Pak." 
"Jurusan apa?" 
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Pak." 
"Ya ya ya. Gampang nanti bisa diatur untuk 

dicarikan jurusan yang pas. Yang penting kau serius 
lanjut kuliah kan?" 
"Iya Pak." 
"Bagus. Pak Hasan itu sebenarnya mendorongmu 
untuk memiliki modal paling mahal untuk sukses dan jaya." 

203 

 


Uziek Collections


"Apa itu Pak?" 

"Ilmu. Hanya orang-orang berilmulah yang akan 

diangkat derajatnya oleh Allah. Banyak orang tidak 

berilmu kaya, namun derajatnya tidak diangkat oleh 

Allah. Tidak sedikit orang kaya yang jadi hina karena 

kekayaannya. Sebab ia tidak memiliki ilmu bagaimana 

menjadikan kekayaannya sebagai jalan beribadah dan 

menggapai kemuliaan. Setelah ini kau akan aku bawa 

ke rumah teman-teman mahasiswa. Agar kau kembali 

hidup dalam barakah lingkungan para penuntut ilmu." 
"Iya Pak." 
Berulang kali Zul hanya menjawab: Iya Pak, iya Pak. 

Agaknya Pak Rusli memperhatikan jawaban Zul. 
"Kamu ini dari tadi kok cuma bilang; Iya Pak, Iya Pak. 

Jawa betul kamu ini. Apa tidak ada kata-kata yang lain?" 
"Mmm, aduh bagaimana Pak ya?" 
"Sudah jangan dipikirkan. Ini hanya gurauan saja. 

Ayo kita jalan." 
"Iya Pak." 
"Lha diulang lagi kan!" Seru Pak Rusli sambil 

tersenyum lebar. 
Zul langsung meringis. Ia jadi heran sendiri, kenapa 
terus mengulang-ulang kata-kata itu pada Pak Rusli. 
Namun suasana jadi sangat cair. Sikap Pak Rusli yang 
low profile membuatnya seolah sudah lama mengenal 
lelaki berumur empat puluhan itu. Padahal belum ada 
tiga jam ia bertemu dengannya. 
Keluar dari Saji Selera, Pak Rusli membawanya 
masuk kampus Universiti Malaya. Zul terkagum-kagum 



Uziek Collections


dengan keindahan dan kerapian kampus perguruan 
tinggi tertua di Malaysia itu. 

"Universiti ini masuk dalam jajaran 100 perguruan 
tinggi terbaik dunia. Kau harus tahu itu. Semoga saja 
kau nanti diterima lanjut S.2 di sini. Aku yakin orang 
seperti kau akan meraih kecemerlangan di masa yang 
akan datang." Ujar Pak Rusli menyemangati. 

"Doanya Pak." 

"Allah memberkati, insya Allah." 

Setelah mengelilingi kampus Universiti Malaya, Pak 
Rusli mengajak Zul shalat Ashar di masjid Akademi 
Pengajian Islam. Setelah itu langsung memacu mobilnya 
ke kawasan Pantai Dalam. Setelah keluar dari kawasan 
kampus UM, di sepanjang perjalanan, tepatnya di 
samping kiri, Zul melihat rel KTM. Sesekali ia berpapasan 
dengan KTM yang melaju ke arah KL Sentral. Sepuluh 
menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya. 
Mobil itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh. 
Setelah melewati jalan di bawah jembatan layang, mobil 
itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak apartemen putih 
yang tinggi dan kusam. 

"Inilah Pantai Dalam, banyak mahasiswa Indonesia 
di sini. Kita akan berkunjung ke rumah salah seorang di 
an tar a mereka." 

Mereka berdua turun dari mobil dan bergegas ke arah 
apartemen. Di tengah jalan mereka bertemu dengan anak 
muda yang gayanya khas Indonesia. 

"Assalamu'alaikum. Geng, mau ke mana?" sapa Pak 
Rusli 

"Anu Pak mau beli minyak goreng," jawab anak 
muda itu. 

"Geng, kenalkan ini namanya Zul. Dari Demak. la 
baru datang tadi malam," kata Pak Rusli memperkenalkan.  


Uziek Collections



Anak muda itu langsung menyalami Zul sambil 
memperkenalkan diri, 
"Saya Sugeng, dari Purworejo Jawa Tengah. Selamat 
datang di Kuala Lumpur Mas." 
"Iya Mas. Terima kasih," jawab Zul. 
"Namanya Zul ya? Zul siapa lengkapnya?" tanya 
Sugeng lagi. 
"Aslinya Ahmad Zul. Tapi teman-teman di SMA 
sering memanggil Zul Einstein." 
"Zul Einstein. Wah keren juga. Rencana mau masuk 
UM?" 
"Jika Allah mengijinkan." 

"Nanti saya bantu, insya Allah." 

"Terima kasih Mas Sugeng." 

"Pak Rusli saya jalan dulu ya. Saya cuma sebentar 

kok. Langsung ke rumah saja Pak. Di rumah ada si Arif 
sama si Yahya," terang Sugeng. 
"Baik Geng. Jangan lupa beli yang segar-segar ya," 
tukas Pak Rusli renyah. 
"Beres Pak. O ya Pak jangan lupa lagi. Lantai sepuluh 
Iho. Bukan lantai sembilan." 
"O ya terima kasih. Namanya juga sudah tua sering 
lupa. Ayo Zul kita jalan." 

Pak Rusli dan Zul berjalan melewati samping 
apartemen menuju apartemen berikutnya. Lalu masuk 
lift yang mengantarkan mereka berdua sampai lantai 
sepuluh. Keluar dari lift mereka berjalan ke arah kanan. 
Di pintu flat tempat tinggal Sugeng dan teman-temannya 
itu ada sriker bendera merah putih. Di bawahnya ada 
tulisan: "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!" 
Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah 
orang Indonesia dari Jawa. 

Pak Rusli mengetuk pintu dan dibukakan oleh seorang 
pemuda gempal berambut tipis. la hanya memakai sarung 
dan kaos putih. Pemuda itu menyambut dengan senyum. 



Uziek Collections


"O Pak Rusli. Silakan Pak." 
Pak Rusli dan Zul masuk. Pemuda itu memperkenalkan 
diri pada Zul. Namanya Yahya. Ia berasal dari Malang. 
"Tesisnya bagaimana, Ya. Sudah selesai?" tanya Pak 
Rusli. 
"Alhamdulillah sudah Pak. Minggu depan submit, 

insya Allah," jawab Yahya dengan wajah cerah. 

"Langsung lanjut Ph.D., Ya?" 

"Insya Allah Pak, tapi saya mesti laporan ke pihak 
UIN Malang dulu. Semoga saja diijinkan untuk langsung 
lanjut Ph.D. Doanya." 
"Allah memudahkan insya Allah." 

Akhirnya Zul tahu bahwa Yahya dulu kuliah di 
Pakistan jurusan sejarah dan peradaban. Sepulang dari 
Pakistan ia diterima jadi dosen di UIN Malang. Lalu 
melanjutkan S.2 di UM, dan sebentar lagi selesai. Setelah 
itu akan langsung melanjutkan S.3. 

la juga tahu flat itu terdiri atas tiga kamar. Dua 
kamar mandi. Dapur. Dan ruang tamu. Yang tinggal di 
situ lima orang; Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan Pak 
Muslim. Yahya dan Pak Muslim sudah menikah. 
Sedangkan yang lainnya masih bujang. Sewa flat itu 
enam ratus ringgit per bulan, atau sekitar satu juta enam 
ratus ribu per bulan. Baginya itu sangat mahal. Enam 
ratus ringgit ditanggung oleh penghuni rumah itu yang 
berjumlah lima. Sehingga masing-masing orang kena 
beban 120 ringgit per bulan. Jika berjumlah enam, maka 
masing-masing orang kena beban seratus ringgit. 

Yahya juga bercerita, bahwa awal-awal di Kuala 
Lumpur ia sempat bekerja mencuci piring di restoran 
dengan gaji yang sangat mepet. Ia juga pernah kerja di 
sebuah kedai foto copy. Bahkan ia pernah bekerja sebagai 
tukang bersih-bersih WC di Gedung Putra World Trading 
Centre atau biasa disingkat PWTC. 

"Apa saja saya lakukan untuk bisa hidup dan  


Uziek Collections

membayar uang kuliah. Meskipun diterima jadi dosen, 
tapi saya belajar ini tanpa beasiswa. Saya dulu sempat 
membawa isteri, tapi saya rasakan berat. Akhirnya 
sementara ini isteri tinggal di Malang dulu. Semoga saja 
nanti keadaan membaik. Dan saya bisa membawa isteri 
lagi kemari untuk menemani membuat disertasi Ph.D." 
jelas Yahya pada Zul. 

"Intinya tidak boleh malu. Tidak boleh menyerah. 
Dan harus terus bergerak. Saya dulu awal-awal kuliah 
di sini juga sama seperti Yahya. Hidup prihatin. Kerja 
apa pun asal halal dan bisa membuat saya semakin kaya 
saya lakukan. Alhamdulillah sekarang saya bisa membuka
usaha bekerjasama dengan orang Malaysia. 
Cukup untuk menghidupi anak dan isteri. Begitu selesai 
doktor saya langsung akan pulang ke Indonesia." Pak 
Rusli menambahi. 

Tak lama kemudian Sugeng datang. Dan Arif yang 
tadi tidur, terbangun. Pertemuan itu jadi semakin hangat. 
Semua memberi semangat pada Zul. Zul merasa 
menemukan orang-orang yang baik dan tulus. Yahya 
bahkan menawarkan agar Zul tinggal saja di flat itu dan 
bisa tinggal satu kamar dengannya. 

"Tapi kamar saya agak sempit. Bagi saya tidak 
masalah dihuni dua orang. Jika hati dan jiwa kita lapang 
maka semua akan jadi lapang." Ucap Yahya dengan 
wajah cerah. 

Tak ada keraguan bagi Zul untuk memutuskan 
tinggal di flat itu bersama Yahya, Sugeng dan temantemannya. 
Sore itu ia memutuskan untuk langsung 
menginap di situ dan tidak kembali ke Subang Jaya. 

Setelah mantap bahwa Zul tidak akan terlantar, Pak 
Rusli mohon diri. Sebelum keluar pintu ia masih sempat 
berkata pada Zul 

"Saya akan coba mencari informasi. Jika ada 
lowongan nanti saya beritahukan. Yang jelas optimislah, 
bahwa Allah itu Mahakaya. Allah sudah mengatur jatah 
rejeki hamba-Nya. Tergantung bagaimana hamba-Nya 



Uziek Collections

itu memungutnya. Jika ada apa-apa. Perlu bantuan apaapa, 
telpon saya saja. Tak usah sungkan ya Zul." 

"Iya Pak. Terima kasih atas segala kebaikannya." 

* * * 
Malam itu Zul bertemu dengan seluruh penghuni flat 
itu. la tidak merasa menjadi orang asing di rumah itu. 
Malam itu juga ia mendapatkan saran-saran yang sangat 
membantunya dalam menentukan langkah selanjutnya 
di Malaysia. Semua yang ada di rumah itu ingin 
memberikan bantuan semampunya. 

Sugeng menawarkan diri untuk membantunya 
mengurus pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke 
Malaysia tanpa single entry maka urusan imigrasi pasti 
akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya 
pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi 
Zul jika nanti harus berurusan dengan masalah visa. 
Yahya dan Arif akan membantu mencarikan informasi 
kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah itu, 
menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan Zul. 
Pak Muslim akan mengadakan penelitian di Sabah 
selama tiga minggu. Berarti sepeda motornya bisa dipakai 
selama itu. 

"Ini masih bulan April. Awal semester bulan Juli. 
Masih ada waktu sekitar tiga bulan. Sebaiknya Zul daf tar 
dulu saja. Selama tiga bulan bekerja sungguh-sungguh 
agar bisa membayar awal semester. Yang pasti jumlahnya 
agak lumayan. Besok kita lengkapi syarat-syaratnya. Dan 
lusa kita masukkan berkas ke IPS.7 Untuk uang 
pendaftaran yang 30 dollar itu biar saya talangi dulu. 
Jadi, dua hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah 
itu baru konsentrasi cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng. 

"Saya ikut saja." Lirih Zul. 

"Coba lihat, mana ijazahmu? Kau bawa kan?" 

7 IPS : Institute Postgraduate Studies. 

Zul mengangguk dan mengambil tas hitamnya. la  


Uziek Collections

keluarkan map berisi berkas-berkas pribadinya dari tas 
itu. la berikan map itu pada Sugeng. Sugeng lalu 
membuka dan meneliti dengan seksama. Ijazah SD sampai S.l
ada di situ. Sugeng lalu melihat ijazah S.l itu 
dengan kening berkerut. 

"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ya?" 

"Iya Mas." Jawab Zul pelan 

"Pak Muslim, sini Pak!" Seru Sugeng pada Pak 

Muslim yang sedang asyik menulis di depan layar 
komputer di kamarnya. Pak Muslim langsung mendekat. 
"Iya ada apa Geng?" tanya Pak Muslim sambil 
membenarkan gagang kaca matanya. 

"Zul ini, S.l-nya jurusan pendidikan bahasa Indonesia. 
Sebaiknya kalau masuk S.2 UM di fakultas apa, 
jurusan apa, Pak?" 

Pak Muslim berpikir sejenak. Lalu berkata, "Lha Dik 
Zul sendiri ingin masuk fakultas apa?" 

"Fakultas pendidikan, Pak." Jawab Zul seraya 
mendongakkan kepalanya ke arah Pak Muslim yang 
berdiri di samping Sugeng. 

"Kalau gitu ya masuk fakultas pendidikan saja. 
Jurusannya, kalau saya boleh menyarankan sosiologi 
pendidikan saja." Sahut Pak Muslim. 

"Bagaimana dengan saran Pak Muslim, Zul?" tanya 
Sugeng. 
"Boleh. Saya sepakat." 
Malam itu Zul merasa menemukan sctitik cahaya 
yang bisa dijadikan sedikit penerang bagi jalan masa
depannya. la kembali mendapatkan gairah hidup yang 
baru. la merasakan kedamaian seperti rasa damainya saat 
dulu bisa melanjutkan pendidikan setelah lulus SD. la 
tetap bisa lanjut ke SMP meskipun harus dengan bekerja 
membantu Pakdenya di Pasar Sayung sepulang sekolah. 
la merasa bahagia saat itu, sebab banyak temantemannya 



Uziek Collections

yang putus sekolah karena tidak ada biaya. 
Mereka selesai SD langsung bekerja di sawah atau kerja 
di pabrik-pabrik yang ada di Kawasan LIK Semarang. 

Malam itu, untuk pertama kalinya ia tidur dalam 
keadaan lebih nyaman dan tenteram. Dadanya terisi 
cahaya optimisme dan semangat. Bertahun-tahun 
sebelumnya ia selalu tidur dalam bayang kekuatiran, rasa 
takut dan ketidakpastian hidup. Ia mengalami itu sejak 
Pakdenya, orang yang merawatnya sejak kecil, meninggal 
saat ia masih di bangku kelas 3 SMA. Sejak itu 
ia seperti merasakan ketidakpastian hidup. Dengan 
berusaha tetap tegar ia akhirnya berhasil juga menyelesaikan 
SMA-nya bahkan bisa tetap kuliah. Dan selesai 
juga kuliahnya. Namun selesai kuliah ia belum juga 
mantap menapakkan kakinya. Hal itulah yang membuatnya 
merantau. Dari Semarang ke Jakarta. Lalu ke 
Batam. Dan akhirnya ke Malaysia. 

Dan malam itu, setelah ia bertemu dengan orang-
orang yang berpendidikan dan tulus, ia banyak 
mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang 
begitu rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut 
ilmu membuatnya kembali terlecut. Ia dulu, saat kuliah 
di Semarang, juga pernah mengalami apa yang Yahya 
alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang 

becak, kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan 

terakhir penjaga parkir di Pasar Johar. 

Yang ia rasakan, bedanya Yahya dengan dirinya 
adalah Yahya begitu mantap dan bahagia dengan apa 
yang dilakukannya. Yahya menganggap hal itu bukan 
beban, tapi suatu kenikmatan. Yahya memasukkannya 
sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian. Tapi dia 
selama ini bekerja, selalu saja menganggap sebagai 
beban. Dalam hatinya selalu saja masih ada rasa kuatir 
dan merasa tertekan. Dan malam itu ia mendapatkan 
pencerahan yang membuatnya merasa lebih tenang. 

Malam itu ia tidur dengan bibir menyungging 
senyum optimis. Ia optimis telah menemukan jalan untuk  


Uziek Collections

memperbaiki masa depan. Ia tidur dengan sama sekali 
tidak mengingat Mari, Iin, Sumiyati dan Linda di Subang 
Jaya. 

Sementara di Subang Jaya sana, Mari berangkat 
tidur dengan perasaan kehilangan. Entah kenapa ia 
merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia telah mendapatkan 
informasi pekerjaan untuk Zul. Dan ia pulang 
dengan perasaan bahagia, sebab ia yakin Zul masih ada 
di rumahnya. Dan ia akan memberikan informasi 
pekerjaan itu pada pemuda itu. Ia akan melihat pemuda 
itu bahagia lalu mengucapkan terima kasih padanya. 
Namun ia kecewa saat ia dapati Zul tidak ada. Ia masih 
berharap, malam itu Zul akan kembali ke rumah itu. 
Namun ia kembali kecewa. Sampai pukul satu malam ia 
menunggu Zul tidak juga muncul. Akhirnya ia tidur 
dengan perasaan masygul. 

*** 



Uziek Collections

Lima 

Dua hari pertama di Pantai Dalam Kuala Lumpur, 
Zul sibuk mengurus berkas-berkas pendaf tarannya ke 
Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng menemani dan 
mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang mengusahakan 
rekomendasi dari dua orang guru besar di 
Universiti Malaya (UM). Dan di hari ketiga berkas itu 
berhasil dimasukkan ke Institute Postgraduate Program 
(IPS). Zul mengambil program kerja kursus dan tesis di 
Fakultas Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. 

"Kita tinggal menunggu surat panggilan dari UM. 
Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer letter ke
alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu 
mengurus registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng 
pada Zul setelah berhasil memasukkan berkas ke IPS. 

"Berapa lama kita menunggu offer letter Mas?" 
"Mungkin dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang 
yang paling penting kamu mempersiapkan biaya untuk 
registrasi jika diterima nanti. Jika ditotal paling tidak nanti 

kamu harus keluar uang tiga ribu ringgit lebih." 
"Besar sekali ya Mas." 
"Ini untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester 

biaya SPP-nya terus turun. Kalau ditotal biaya kuliah di 
sini dengan di Indonesia kurang lebih sama. Namun jika 
kita bandingkan f asilitasnya, rasanya di sini lebih murah. 
Hanya saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi 
dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya 
bisa ditutupi. Sekali lagi yang agak berat itu memang 
biaya masuk awalnya." 

"Saya harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya 
Mas." 
"Iya." 

Zul mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar 
tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak 
gamang, apakah ia bisa. 
 


Uziek Collections

"Jangan kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika 
nanti masih kurang, saya akan bantu mencarikan 
pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah untuk 
sesi Juli yang akan datang." 

"Iya Mas, terima kasih atas segalanya. Saya akan 
berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas Rizal
mengajak saya untuk kerja lembur di restoran sebuah 
hotel nanti malam." 

"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau 
perlu istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara 
nanti pukul dua saya ada jadwal mengajar budak-budak8 
Malaysia di Damansara." 

"Ayo Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah 
flat kita." 
"Iya." 
* * * 

Sore itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk 
mulai kerja pertama kalinya di negeri Jiran. Ia begitu 
bersemangat. Sebab ia punya tujuan yang jelas untuk 
apa bekerja. Rizal senang melihat Zul bersemangat. Ia 
senang, sebab malam itu ada yang menemaninya. 
Selama ini ia biasanya sendirian saja. 

"Kita harus sampai di Hotel Grand Season sebelum 
pukul setengah delapan. Pesta ulang tahun selebriti 
Malaysia ini akan berlangsung dari pukul delapan sampai 
pukul sebelas malam. Kita mungkin akan pulang sekitar 
pukul satu malam. Sebab selain kita bertugas menjadi 
pelayan yang menghidangkan makanan. Kita juga 
bertugas membersihkan peralatan setelah acara itu. 
Bagaimana kau siap Zul?" 

"Siap Mas." 

"Ayo kita berangkat." 

8 Anak-anak. Orang Malaysia menyebut anak dengan kata
budak. 




Uziek Collections

Mereka berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan 
sepeda Honda tua tahun tujuh puluhan mereka meluncur 
menyisiri jalan raya Kuala Lumpur. 

"Kenapa tadi tidak memakai motornya Pak Muslim 
saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul saat melihat Rizal 
berkali-kali melihat jam tangannya sambil mengendari 
sepeda motor tuanya. 

"Memakai milik sendiri meskipun tua seperti ini 
rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat kok." 
Jawab Rizal. 

"Semoga Mas." 
Mereka berdua akhirnya sampai di Hotel Grand 
Season yang berada di kawasan Chow Kit tepat pukul 

19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai shalat 
Maghrib mereka mendapat briefing dari penanggung 
jawab restoran. Dan malam itu Zul bekerja dengan penuh 
hati-hati dan dedikasi. Ia begitu semangat, seolah tidak 
terasa lelah. 
Dalam acara yang serba mewah dan glamour itu ia 
bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan 
Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang sangat 
terkenal di Indonesia. Hanya saja ia tidak berani kenalan, 
minta tanda tangan atau minta foto bersama. Dalam hati 
kecil ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar 
menyapa bahkan minta tanda tangan. Ia hanya 
membayangkan jika bisa foto bersama artis paling 
populer di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa memasang 
foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada
temantemannya 
di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia. 
Namun ia tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua.
la juga merasa, sebagai pelayan, sangat tidak etis 

jika sampai berani melakukan hal itu. 

Di akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang 
wartawati sebuah stasiun televisi Malaysia. Cantik. Ia 
sangat tersanjung. Wartawati itu, entah iseng entah serius 
menanyakan ia berasal dari mana? Lulusan apa? Dan  


Uziek Collections

apa motivasinya kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab 
semuanya dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia. 
Lulus S.l dari sebuah universitas di Semarang. Dan kerja 
di situ karena harus survive dan harus bisa membayar 
biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu agak terkejut. 

"Jadi awak sekarang sedang buat master di UM?" 

"Iya." 

"Dan awak ini bekerja untuk bayar studi awak?" 

"Iya." 

"Wah boleh. Awak boleh dikata seorang wira9 sejati. 

Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil fakulti 
apa?" 
"Fakulti Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan." 


"Terima kasih. Saya sangat kagum dengan awak. 
Semoga berjaya. Ini kad nama saya. Suatu masa nanti 
kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi, siapa 
nama awak tadi?" 

"ZulHadi." 

"Zul Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?" 

"Wah tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?" 

9 Kesatria, pahlawan. 

"A...boleh,boleh." 
Zul lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati 
itu mencatatnya di note book-nya. Lalu wartawati itu 
pergi sambil menganggukkan kepala dan melempar 
senyum kepadanya. Zul balas mengangguk dan 
tersenyum. 
Pengalaman pertamanya kerja di Kuala Lumpur 
malam itu sangat mengesankan. Malam itu, ia pulang 
pukul setengah dua malam. Di tengah perjalanan hujan 



Uziek Collections

deras turun. Rizal nekat menerobos hujan itu. Dan 
malangnya, rantai sepeda motor tua itu putus. Jadilah 
mereka berdua jalan kaki sepanjang empat kilometer 
sambil menunrun motor. Mereka sampai di Pantai Dalam 
pukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul, 
"Sorry Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim, 
mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu." 
"Tak apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak 
terlupakan." 
"Ya. Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita 

hahaha." 

"Hahaha." 

Begitulah. Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya. 
Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam. 
Demi bertahan hidup dan demi bisa membayar uang 
kuliahnya. Selain bekerja insidentil di hotel-hotel kalau 
ada acara-acara besar, secara rutin siang hari Zul bekerja 
di pom bensin selama enam jam. Rizal jugalah yang 
mencarikan kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia 
ikut Arif bekerja sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah
Taman Seputeh. Biasanya ia berangkat pukul tujuh 
malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya 
istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena kesibukannya 
itu, ia belum juga sempat mengambil barangbarangnya 
yang ia tinggal di rumah Mari, di Subang 
Jaya. Ia bahkan nyaris melupakannya. 

Suatu hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari: 

"Assalamu'alaikum Mbak Mari. Maaf ya, sy blm bs ke 
tmpt Mbak. Juga maaf pada wkt itu tdk smpt pamitan. 
Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt tmpt tnggl 
yg nyaman. Trs trng sy sdng sngt sibuk. Nnti jk sdh agak 
longgar sy k tmpt mbak untk ambil barang insya Allah. 
Terima kasih atas sgl kebaikannya ya. Dari adikmu: Zul." 

Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari. 
Karena ia merasa Mari memang tepat dijadikan 
kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia 
merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap  


Uziek Collections

dirinya sebagai adiknya. 

Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari, 

"Wassalamu'alaikum wr wb. Alhdulillah kau ternyata 
masih hidup :) Aku smpat khwtir krn kau pergi dan dua 
bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses.
Barangbarangmu 
masih terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr 
informasi, jk nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin 
lagi. Dia sdh pulang ke Indonesia tiga hari yang lalu. 
Dan kemngkinan besar tidak akan kembali lagi ke sini. 
Terima kasih telah menganggapku sebagai kakak. 
Selamat bekerja. O ya apakah ini nomor hpmu? Salam 
sayang dari kakakmu: Mari." 

Ia bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan 
bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong 
dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam 
pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya lebih
muda darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya. 
Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. la 
lalu menjawab pertanyaan Mari, 

"Mbak ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman 
saya. Tapi saya punya alamat email. Jika ingin 
mengabarkan sesuatu kpd sy, ini alamatnya: 
zoel_guanteng@okaymail.com. Terima kasih." 

Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari, 

"Ya. Baik." 

* * * 

Zul terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah 
surat dari Universiti Malaya. Zul benar-benar diterima 
di perguruan tinggi tertua di Malaysia itu. Dan setelah 
mati-matian bekerja siang dan malam selama tiga bulan, 
ia bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun 
uangnya habis untuk registrasi dan mengurus student 
pass. Padahal ia harus segera aktif kuliah. Ia tidak bisa 
lagi kerja full time seperti dulu. Tapi pemasukannya harus 



Uziek Collections

tetap seperti dulu. Ia agak bingung menyikapi hal itu. 
Apalagi jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Da-
lam ke UM. Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah. 

Apa yang ia hadapi itu ia sampaikan kepada Yahya, 
orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya. Sebab 
Yahya tinggal satu kamar dengannya. Yahya menyimak 
apa yang disampaikan Zul dengan penuh perhatian. Ia 
menjadi pendengar yang baik. Setelah Zul menyampaikan 
masalahnya secara tuntas, Yahya menanggapi, 

"Bisa disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan 
manusia pada satu masalah, sebenarnya Allah 
juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna ma'al 'usriyusra. 

Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan. 
Begitulah Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami 
sekarang ini pernah saya alami. Kau masih lebih 
beruntung Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa 
berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita 
petakan apa yang kauhadapi satu per satu. 

"Jika kau aktif kuliah artinya waktumu untuk bekerja 
di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja Sabtu 
dan Minggu. Sebab masa aktif kuliah cuma lima hari. 
Tapi saya sering lihat juga, bahwa untuk pascasarjana 
fakulti pendidikan sering masuk sore hari. Sebab 
mahasiswa dari pribumi Malaysia banyak yang dari 
kalangan guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa 
masuk kuliah sore hari. Yang paling penting, kau harus 
pastikan jadwal kuliah secepatnya. Baru bisa menata 
kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang 
juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau harus 
memiliki sepeda motor sendiri. Selama ini kau bisa pinjam 
Rizal, Pak Muslim, atau siapa saja yang sepeda motornya 
nganggur. Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau sudah punya 
jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri, 
yang berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin 
kau bisa berangkat kerja bersama Rizal, sekarang belum 
tentu bisa. 

"Menurut saya, sepeda motor sudah kebutuhan primer 
bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan kalau  


Uziek Collections

disuruh memilih penting mana sepeda motor sama 
komputer? Saya akan langsung jawab; penting sepeda 
motor. Kita tidak akan leluasa bergerak tanpa sepeda 
motor. Tapi kita masih bisa mengerjakan tugas dengan baik
meskipun tidak memiliki komputer. Sebab di kampus 
fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada 
komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul." 

Zul memikirkan dan merenungi saran Yahya benarbenar. 
Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak 
benarnya. Ia harus punya sepeda motor meskipun tua 
dan butut. Akhirnya dengan memberanikan diri, ia 
meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda 
motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki 
tahun tujuh puluhan akhir. 

"Yang penting bisa jalan dan mengantarkan sampai 
tujuan." Gumamnya dalam hati. 

Setelah itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata 
jadwal kerjanya. Dengan terpaksa kerja di pom bensin 
ia tinggalkan. Sebab kerja di pom bensin itu banyak 
bertabrakan dengan jadwal kuliahnya. Sebagai gantinya 
ia kerja di warung runcit. Berangkat pukul delapan 
sampai pukul dua siang. Setiap hari. Jadwal kuliahnya 
banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau pukul empat. 
Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas 
pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai 
Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul 
setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia 
hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh. 
Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh 
ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk 
belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat 
mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama 
Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah 
shalat Subuh. 

"Saya belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD. 
Saya ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya hanya 
bisa konsentrasi jika membacanya pada pagi hari. Ya 
setelah shalat Subuh itu. Biasanya kalau yang saya baca 
setelah shalat Subuh itu banyak melekatnya di otak." 



Uziek Collections

Kata Yahya pada Zul suatu ketika. 

"Dan lagi setelah shalat Subuh itu waktu yang penuh 
barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa 
barakah untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi. 
Jika kita ingin dapat banyak barakah ya berarti kita harus 
menghidupkan waktu pagi kita. Waktu Subuh dan 
setelah Subuh kita." Sambung Yahya. 

"Wah cocok sekali apa yang Mas Yahya sampaikan 
dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang 
China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di 
Malaysia, mereka itu selalu membuka toko dan 
dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman di 
Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China 
di Jakarta. Dia cerita, tuannya itu sudah bangun pagi 
sejak pukul empat pagi. Begitu bangun pagi langsung 
melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga saham 
dunia. O jadi nyambung sama barakahnya waktu pagi." 

"Iya Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi 
dari orang China." 
"Benar Mas." 
* * * 
 


Uziek Collections

Enam 

Tak terasa Zul telah melewati satu semester. Selama 
itu ia seperti tidak mengenal siang dan malam. Hariharinya 
ia lewati dengan bekerja dan belajar. Bekerja dan 
belajar. Ia tampak lebih kurus dari hari pertama saat ia 
tiba di Malaysia. Hidup setengah tahun lebih bersama 
Yahya membuatnya lebih banyak tahu tentang ajar an 
agamanya. Ia yang selama ini tidak mendapat pengajaran 
agama secara mendalam, banyak mendapat 
masukan-masukan tentang keindahan Islam. Sedikit demi 
sedikit Yahya memberikan pencerahan, tanpa terasa. 

Tidak ada waktu khusus mengaji pada Yahya. Cukuplah 
interaksi harian menjadi tempatnya menimba ilmu. 

Malam itu Kuala Lumpur hujan deras. Zul bangun 
dan shalat Tahajjud. Di keheningan malam itu ia 
memuhasabahi dirinya sendiri. Ia merenungi perjalanan 
hidupnya selama ini. Banyak sekali tingkah lakunya yang 
jauh dari perilaku yang dibenarkan oleh agama. Ia jadi 
teringat masa SMA-nya dulu. Ia pernah pacaran dengan 
anak SMA tetangga desa. Ia pacaran diam-diam. 
Pakdenya, yang menjadi pengasuhnya, tidak pernah tahu. 
Ia pernah pergi dengan pacamya itu malam mingguan di 
Simpang Lima Semarang. Dan astaghfirullah ia bergandeng 
tangan dan duduk berpelukan mesra dengan 
pacarnya itu sambil nonton ramainya kawasan Simpang 
Lima. Ia putus dengan pacarnya, setelah lulus SMA. 
Pacarnya itu dikawinkan paksa oleh orangtuanya. Dan ia 
tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Tahu-tahu ia 
mendapat kabar pacarnya sudah kawin dan hidup 
bersama suaminya di luar Jawa. Ia sempat sakit hati. Lalu 
saat kuliah di IKIP ia sempat pacaran lagi. Hanya bertahan 
dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu setelah ia tahu 
pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit hati. 
Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati 
perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi. 

Ia bersyukur kepada Allah yang menjaganya, hanya 
dua kali saja pacaran. Dan tidak sampai melakukan yang 
lebih dari sekadar bergandeng tangan dan berpelukan. 
Ia tidak bisa membayangkan jika Allah tidak menjaganya. 



Uziek Collections

Mungkin ia telah berbuat maksiat yang lebih besar 
lagi madharatnya. 

Dari Yahya ia tahu bahwa tidak halal menyentuh 
tubuh perempuan yang bukan mahramnya. Tidak halal 
berasyik-masyuk dengan perempuan yang bukan 
isterinya. Pacaran adalah cara setan menggiring umat 
manusia agar jatuh pada perbuatan nista yang dikutuk 
semua agama, yaitu zina. Banyak orang melakukan 
pacaran yang—karena masih disayang Allah—diselamatkan 
oleh Allah dari dosa besar itu. Namun tidak 
terhitung jumlahnya manusia yang melakukan pacaran 
dan akhirnya jatuh ke lembah nista itu, yaitu melakukan 
perzinahan berulang-ulang kali. 

Zul jadi merinding mengingat hal itu. Berulang-ulang 
kali ia mengucapkan istighfar. Ia membayangkan seperti 
apa besar dosanya. Berapa kali ia bermesraan dan 
berpelukan dengan perempuan yang tidak halal baginya. 

"Astaghfirullahal adhim. Ya Allah ampuni dosadosaku. 
Ampuni kebodohanku. Ampuni perbuatanperbuatan 
jahiliyahku." 

Ia menangis bila mengingat yang terjadi pada teman 
satu kelasnya di SMA. Dua sejoli si Fulan dan si Fulanah. 
Mereka berpacaran dan kebablasan. Si Fulanah hamil. 
Keduanya mengakui perbuatan keji itu pada pihak 
sekolah. Akhirnya keduanya dinikahkan oleh keluarga 
mereka. Dan tepat satu minggu sebelum ujian akhir 
keduanya dikeluarkan dari sekolah. Sebelum pergi ke 
Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih 
menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan 
Kuning10 dan si Fulan dipenjara karena terlibat curanmor. 

10 Sunan Kuning adalah nama sebuah lokalisasi di Kota
Semarang, lebih dikenal 
dengan singkatan SK. 

Jika Allah tidak mengasihinya, bisa jadi nasibnya 
lebih buruk dari si Fulan dan si Fulanah. Sebab saat ia 
pacaran ia nyaris pernah melakukan perbuatan yang 
dilarang itu dengan pacarnya. Zul kembali menangis  


Uziek Collections

mengingat hal itu, 

"Ya Allah kalau tidak Kauselamatkan diriku. Akan 
jadi apakah diriku ini? Akan jadi budak setankah? Akan 
jadi makhluk yang durhaka kepada-Mu kah? Ya Allah, 
terima kasih ya Allah telah menyelamatkan diriku. Ya 
Allah aku ingin hidup lurus di jalan-Mu. Ampunilah dosadosaku 
yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan 
jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaan-
Mu yang tidak pernah luput sekejap pun juga." 

Di akhir muhasabahnya ia teringat kebersamaannya 
dengan Man dan teman-temannya. Juga perjumpaannya 
dengan Linda. Ia mohon ampun kepada Allah jika ada 
perbuatannya yang dosa, juga memintakan ampun 
kepada Allah untuk Mari, Iin, Sumi dan Linda. Walau 
bagaimanapun Mari telah memberikan pertolongan 
padanya. 

Pagi harinya entah kenapa ia merasa ingin bersilaturrahmi 
ke rumah Mari di Subang Jaya. Beberapa kali ia 
menepis keinginan itu. Ia katakan pada dirinya bahwa 
besok-besok masih ada waktu untuk mengambil
barangbarangnya. 
Namun keinginannya untuk pergi ke rumah 
Mari entah kenapa terus mendesaknya. 

Pada akhirnya ia tetap merasa harus bersilaturrahmi 
hari itu dan pagi itu juga. Ya, bersilaturrahmi sekadarnya 
saja. Sambil mengambil barang-barangnya yang masih 
tertinggal di sana. Ia belum mengucapkan terima kasih secara
langsung pada Mari. Selain itu ia masih memegang 
kunci rumah itu. Ia benar-benar lupa kalau memegang 
kunci milik Linda. Ia harus mengembalikan kunci itu 
segera. 

Pagi itu tepat jam delapan, setelah sarapan roti canai 
ia langsung ke stasiun KTM. Ia tidak membawa apa-apa. 
Kecuali tas cangklong hitamnya. Ia bahkan tidak 
memakai sepatu, hanya memakai sandal jepit hitam. Dari 
stasiun Pantai Dalam ia ke KL Sentral. Lalu dari KL Sentral 
ia naik bus ke Subang Jaya. Di tengah perjalanan ketika 
bus baru keluar dari KL Sentral hujan turun dengan deras. 



Uziek Collections

Bus tetap melaju dengan tenang. Zul menikmati indahnya 
kota Kuala Lumpur dalam siraman air hujan. Air 
mengalir dengan teratur ke selokan-selokan yang diatur 
rapi. Paru-paru kota yang ada di hampir setiap sudut 
kota menyerap air hujan dengan segera. Tak ada banjir 
tak ada air menggenang. Zul boleh salut pada tata kota 
Kuala Lumpur. Bus melaju dengan kecepatan sedang dan 
sampai di Subang Jaya pukul sepuluh siang. 

Zul turun dari bus. Hujan masih turun rintik-rintik. 

Ia menutup kepalanya dengan tas hitamnya. Iaberjalan 

sambil mengingat-ingat jalan menuju rumah Mari. 

Sambil berjalan ia meraba saku celananya untuk meyakinkan
bahwa kunci yang dulu dipinjamkan oleh Linda telah terbawa.
Ia meraba dan menemukannya. Ia melangkah dengan cepat. Ia
telah memasuki kawasan Taman Subang Permai. Ia ingat jalan
depan belok kanan. 

Rumah keempat dari ujung jalan itulah rumah Mari. 

Tiba-tiba hatinya berdegup kencang. Ia teringat 

Linda. Yang ada di rumah itu pada waktu siang biasanya
adalah Linda. Yang lain pergi kerja. Dan hujan-hujan 
begini ia akan mengetuk rumah itu dan bertemu Linda. 
Yang bisa jadi ia akan mengenakan pakaian yang tidak 
menjaga susila seperti dulu lagi. Ia jadi ragu. Antara 
meneruskan langkah atau pulang. Sementara rinai hujan 
masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju 
meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan 
kunci, mengambil barang-barangnya, dan menyampaikan 
rasa terima kasih. Bukan yang lain. Ia meniatkan 
diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua 
atau tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda. 

Sejurus kemudian Zul sudah sampai di depan rumah 
Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna merah hati di 
depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun 
pintu kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam. 
 


Uziek Collections

Tiba-tiba ia mendengar suara barang dibanting. 
Seperti piring. Hujan kembali turun semakin lebat. Ia 
mempercepat langkah menuju teras. Bersama suara 
guntur yang menggelegar ia mendengar suara perempuan 
menjerit-jerit minta tolong dari dalam rumah. Ia 
kaget. Spontan ia lari ke pintu. Ia menggedor-gedor 
pintu. Pintu terkunci. 

Ia ingat, bahwa ia membawa kunci rumah itu. Suara 
perempuan dari dalam rumah kembali menjerit-jerit 
minta tolong. 

"Toloong, tolooong! Jangan! Jangan!" 

Halilintar kembali menyambar. Ia menyangka suara 
itu adalah suara Linda yang mungkin hendak dianiaya 
oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Walaupun ia 
tidak suka dengan perbuatan dan cara berpikir Linda, 
tapi ia merasa perempuan itu tetap harus ditolong. la 
membuka pintu. Dan... 

Alangkah terkejutnya ia. Di ruang tamu itu ia melihat 
Mari tengah bergelut melawan seorang lelaki gundul 
bertubuh besar yang hendak merogolnya.11 Mari merontaronta 
sekuat-kuatnya. Kedua kakinya menendangnendang. 
Pakaiannya bagian atas tidak sempurna lagi 
menutupi tubuhnya. Ia melihat Mari mati-matian
mempertahankan 
celana jeansnya yang hendak dilepas paksa. 

Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan 
lagi. Darahnya mendidih. Ia langsung membentak 
dengan sekeras-kerasnya, 

"Hai bajingan! Berhenti kau! Kurang ajar!" 

Bersama dengan meluncurnya bentakan keras dari 
mulutnya ia langsung melompat menendang lelaki itu, 
tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke arahnya. 
Tendangan itu mengenai muka lelaki gundul itu. Tepat 
di hidungnya. Tak ayal tubuh lelaki gundul itu 
terpelanting dari atas tubuh Mari. Mari langsung bangkit 
dan lari ke pojok ruangan sambil mendekap tubuhnya 



Uziek Collections

yang gemetar ketakutan. 

"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusanku!" 
Lelaki itu berdiri dengan amarah memuncak di ubunubunnya. 
Ia memegangi hidungnya yang terasa sakit. 
Zul tidak gentar. Ia pernah dikeroyok oleh preman Pulo 
Gadung dan tidak mat! meskipun saat itu tidak bisa 
dikatakan ia menang atau kalah. Yang jelas ia tidak mati. 
Zul balik menggertak, 

"Justru seharusnya aku yang harus bertanya. Siapa 
kau bajingan berani kurang ajar sama kakakku!" 

"Apa? Mari itu kakakmu! Dasar penjahat. Rupanya 
kau ya yang membawa lari Mari kemari. Ketahuilah aku 
adalah Warkum, suami Mari yang sah. Aku ingin 
membawa dia kembali ke rumahku!" 

"Dasar bajingan iblis! Kau bukan suamiku lagi! Aku 
tidak sudi melihatmu apalagi kembali padamu!" 

"Tutup mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau 
kau tetap isteriku! Dan kau kucing alas, jangan ikut 
campur urusan rumah tangga orang lain ya! Atau...." 

"Atau apa? Aku sudah tahu semuanya. Kau dan Mari 
tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau boleh bawa Mari 
ke mana saja asal bisa melangkahi mayatku!" 

"Kurang ajar!" 

Lelaki botak itu mengayunkan pukulan tangannya 
dengan sekuat tenaga. Jika pukulan itu mengenai dada 
Zul, bisa jadi dada yang tipis itu akan rontok. Tapi Zul 
yang sudah pernah belajar karate saat kuliah dan pernah 
berkelahi dengan preman dengan tenang mengelit sambil 
menyarangkan tendangan ke perut Warkum. Warkum 

terhuyung. Emosinya semakin menghebat. 
"Setan alas!" 
Ia langsung mengambil kursi plastik dan mengayunkan ke
kepala Zul. Zul menghindar. Warkum terus 
memburu. Satu sabetan Warkum mengenai pelipis Zul.  


Uziek Collections

Langsung berdarah. Di pojok ruangan Mari menjerit 
histeris. Zul berusaha tetap tenang. Ia mencopot 
sandalnya yang ia rasa mengganggu gerakannya. Ia mencari
peluang untuk menyarangkan serangan yang 
telak. Warkum terus memburunya dengan ganas. 

Melihat darah mengalir di pelipis Zul, semangat 
Warkum untuk membunuh semakin membara. Pada saat 
Warkum merasa bisa menghantam Zul dengan kursi 
plastiknya ia langsung mengerahkan segenap tenaganya. 
Sabetan itu sangat keras. Pada saat menyabet kaki 
Warkum tidak kokoh menapak di bumi. Dengan gesit 
Zul mengelak dengan menjatuhkan diri ke lantai. Lalu 
ia melakukan tendangan memutar sekeras-kerasnya ke 
arah kemaluan Warkum. Tendangan itu sangat cepat dan 
keras. Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya 
mengibaskan ekor yang pernah ia pelajari dari Mbah 
Tarmidi yang dikenal sebagai guru silat di desanya. 
Kekuatan yang digunakan menyerang dalam tendangan 
itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk 
melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki. 
Tendangan Zul sangat akurat. 

Akibatnya... 

"Plakk!" 

Tendangan Zul tepat mengenai sasaran. Tumitnya 

menghantam kemaluan Warkum dengan sekeraskerasnya. 
Warkum langsung terjengkang dan mengerang 
kesakitan. Kursi plastik itu terlepas dari tangan 
Warkum. Zul tidak mau membuang kesempatan. Ia 
langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang 
Warkum. Warkum kembali mengaduh.' Ia berusaha 
bangkit. Namun Zul langsung memukulnya dengan 
kursi kayu sekeras-kerasnya. Warkum mengerang sambil 
mengucapkan kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang telah
hancur. la angkat televisi itu dan ia tumpukkan ke 
muka Warkum. Muka itu langsung luka dan berdarah. 
Seketika itu Warkum mengaum minta ampun. 

"Sudan aku mengaku kalah! Aku tidak akan 



Uziek Collections

mengganggu kalian lagi. Tolong maafkan aku!" teriak 
Warkum sambil memegangi kemaluannya. 

Zul melihat ke arah Mari. 

"Mbak mau memaafkan dia?" tanya Zul. 

Mari menggelengkan kepala. 

Zul melangkah ke kamar Mari yang terduduk 

gemetar di pojok ruangan. Ia pernah melihat ada palu di 
bawah meja rias. Jika tidak dipindah palu itu pasti masih 
ada di sana. Dan benar palu itu masih ada di sana. Zul 
langsung memungutnya. Sementara Mari masih 
mematung di pojok ruang tamu. Warkum berusaha 
bangkit. Pada saat ia mau bangkit Zul telah kembali ke 
ruang itu dan langsung menendang kepala Warkum 
yang gundul itu sekeras-kerasnya. Warkum langsung 
mengaduh, 

"Ampun tolong. Aku mengaku kalah! Biar aku pergi! 
Ampuni aku!" 
Kini tangan kanan Zul memegang palu erat-erat. 
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat 
ini?" 
Mari menggelengkan kepala. 

Begitu melihat Mari menggelengkan kepala, Zul 
langsung memukulkan palu yang ada di tangan 
kanannya itu ke jari kaki kanan Warkum sekeraskerasnya. 
Zul memukulnya dengan cepat tiga kali 
berturut-turut. Warkum merasakan tulang jari kakinya 
remuk. Ia menjerit sekuat-kuatnya minta ampun. 
"Bagaimana Mbak Mari mau memberi ampun?" 
tanya Zul. 

Mari diam saja. Warkum memandang Zul yang saat 
itu berwajah sangat dingin. Ia berusaha menyeret 
tubuhnya ke belakang. 

"Berhenti di tempat! Atau aku pukul gundulmu 
sampai pecah. Aku tahu kau bajingan dan punya anak  


Uziek Collections

buah banyak. Tapi kau harus tahu aku ini tahu 
bagaimana cara memecah dan meremuk tulang kepala 
seorang penjahat seperti kamu. Tahu!" Zul membentak. 
Warkum seketika diam tak berani bergerak. Ia sudah 
benar-benar tidak berdaya. 

"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat 
ini?" Zul kembali bertanya pada Mari. 
Mari kembali menggelengkan kepala. Zul langsung 
mendekati Warkum. Warkum mengaduh minta ampun. 

"Letakkan tangan kananmu di lantai!" Perintah Zul. 
Warkum malah menggenggam tangan kanannya 
dan tangan kirinya seolah-olah hendak melindunginya. 

"Dengar, sekali lagi letakkan tangan kananmu di lantai 
atau aku akan menghancurkan kemaluanmu dan kau 
akan mampus saat ini juga!" Gertak Zul dengan muka 
merah padam. Warkum yang tak punya nyali itu dengan 
tubuh gemetar meletakkan tangan kanannya di lantai. 

"Hmm itu ya tangan yang selama ini digunakan 
untuk menjahati dan menodai kaum perempuan. Baik 
nihrasakan!" 

Zul memukulkan palunya ke jari-jari Warkum 
dengan keras beberapa kali. Warkum merasakan sakit 
luar biasa. Sampai ia tidak bisa lagi menjerit. 

"Ini pertanyaan saya terakhir, Mbak Mari mau 
mengampuni penjahat ini? Jika tidak palu ini akan 
mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya. 
Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu 
Mbak Mari lagi!" 

Mendengar kata-kata itu Warkum kembali memohon 
ampun. Warkum melihat bahwa ancaman Zul bukan 
gertak sambal saja. Ia melihat pemuda kurus yang 
menghajarnya ini punya nyali yang luar biasa dan jika 
nekat matanya seolah buta. 

"Mari, to... tolong maafkan aku! Aku tak ingin mari. 
A... aku khilaf. A... aku janji tidak akan mengganggumu 



Uziek Collections

lagi dan tidak akan menampakkan wajah di hadapanmu 
lagi!" Kata Warkum mengiba dengan suara terbata-bata. 

"Bagaimana Mbak Mari? Ini pertanyaan saya 
terakhir!" tanya Zul dengan wajah dingin. 
Mari bangkit dan melangkah lalu meludahi Warkum. 

"Saat ini aku belum bisa memaafkan dia Zul. Tapi 
biarkan dia pergi. Biarkan dia hidup. Jika kau bunuh dia 
nanti urusannya panjang!" 

"Aku tahu dunia preman. Urusannya tidak akan 
panjang Mbak. Kalau mau biar kubereskan dia. Sampah 
seperti dia inilah yang merusak kesucian anak gadis di 
mana-mana. Dia tak pantas hidup!" 

"Biarkan dia pergi Zul!" 

"Baik Mbak." 

Warkum langsung berkata, 

"Te... terima kasih Mari!" 

"Hei, cepat pergi. Sebelum aku berubah pikiran! 
Ingat, hari ini kau berhutang nyawa pada Mbak Mari. 
Sebab jika tidak karena dia menyuruh membiarkanmu 
pergi, gundulmu itu pasti sudah hancur! Cepat pergi!" 
Bentak Zul dengan mata dipelototkan. 

Dengan susah payah Warkum bangkit. Zul mengambil 
kain penutup meja dan melempar ke muka Warkum. 
"Hei, usap lukamu dengan ini!" 

Warkum berdiri. Ia mengusap darah yang mengalir 
dimukanya. Juga darah yang keluar dari jari-jari tangan 
kanannya yang hancur. Dengan langkah pincang tertatihtatih 
ia berjalan keluar rumah. Di luar hujan tinggal 
menyisakan gerimis. Zul mengikuti sampai di pintu. Ia 
mengamati Warkum dengan pandangan dingin. Susah 
payah Warkum masuk ke dalam mobilnya. Ia lalu 
menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan 
rumah itu. Begitu deru mobil itu tidak terdengar lagi Zul  


Uziek Collections

masuk dan langsung duduk di sofa. 

Mari langsung menghambur bersimpuh menangis 
di kaki Zul. Mari menangis terisak-isak mengucapkan 
rasa terima kasih dengan terbata-bata. Zul terpana sesaat 
seakan hilang kesadaran. Ia mematung tak tahu harus 
berbuat apa menerima luapan keharuan Mari yang 
ditumpahkan sepenuhnya kepadanya. Beberapa saat 
kemudian kesadarannya pulih kembali. 

"Mbak Mari sudahlah. Tolong Mbak bangkit ke 
kamar dan merapikan pakaian Mbak!" Ucap Zul pelan. 

Mari menghentikan isakannya. la melihat tubuhnya 
sendiri. Barulah ia menyadari ada bagian tubuhnya yang 
seharusnya tertutupi tapi tidak tertutupi. Baju yang 
seharusnya menutupi aurat itu sobek. Dan penutup aurat 
di bawah baju telah putus dan tidak lagi menempel di 
badannya. Ia tidak menyadari hal itu sebelumnya karena 
ketegangan dan ketakutan luar biasa. 

Begitu sadar muka dan perasaannya berubah 
seketika, dari haru menjadi malu. Mari langsung 
melindungi bagian itu dengan menutupkan bajunya 
yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke 
dada. Kemudian ia bangkit dan bergegas ke kamarnya. 
Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menunjukkan 
bahwa ia malu luar biasa. 

Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia memejamkan 
kedua matanya. Punggungnya ia sandarkan sepenuhnya 
ke sofa. Ia tak membayangkan akan pernah berkelahi 
dengan penjahat yang hendak memperkosa seorang 
wanita seperti yang baru saja terjadi. Ia jadi teringat 
keinginannya yang sangat kuat untuk pergi ke rumah 
ini. Keinginan yang tidak bisa ditepisnya sama sekali. 
Rupanya ia harus datang untuk membela orang yang 
pernah berbuat baik padanya. 

* * * 



Uziek Collections

Tujuh 


Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan 
kedua matanya sambil menyandarkan punggungnya 
ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia bertarung 
dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa puas 
karena bisa memberi ganjaran setimpal pada penjahat 
berkepala gundul itu. 

Mari masih berada di dalam kamarnya. 
Zul kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia merasa ada 
yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia 
raba. Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya yang luka.
Namun ia yakin luka itu tidak parah. Paling hanya 
sobek beberapa senti saja. Ia merasa itu hanya luka kecil 
yang dalam beberapa hari akan sembuh. 

Mari keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih 
cerah. Pakaiannya rapi. Blues merah muda lengan 
panjang dengan bawahan celana kulot merah marun. 
Jika diperhatikan dengan sedikit serius penampilannya 
tampak anggun. Ia menggelung rambutnya dengan 
sederhana. Sehingga tidak lagi awut-awutan. Tampaknya 
ia telah membasuh mukanya, dan telah berusaha 
menghapus bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun 
tidak benar-benar berhasil. 

Zul masih memejamkan mata sehingga tidak 
menyadari ketika Mari keluar dari kamarnya dan 
memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul 
membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak 
melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika 
melihat wajah Zul ia kaget. 

"Zul, kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya 
Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak. 
Zul mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut, 
"Ah tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja." 

"Tapi darahnya sampai mengalir ke dagu begitu. 
Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul." 
Mari kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan  


Uziek Collections

obat merah. 

"Sini Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata 
Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah. 

"Tidak usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya 
biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar kecil." 
Sergah Zul. 

Mau tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat 
merah pada Zul. Saat itu Mari ingin sekali mengusapkan 
dan membersihkan darah orang yang telah 
membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung 
membalas segala kebaikan Zul. Mari memandangi Zul 
yang melangkah ke kamar kecil dengan pandangan 
yang susah untuk diartikan. Pandangan merasa 
berhutang budi, sayang, kagum, kasihan, juga cinta. 

Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh 
dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti. 
Setelah mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia 
mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu ia 
keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak jauh 
dari Mari. 

"Harus bagaimana aku berterima kasih padamu 
Zul?" Mari mengawali pembicaraan. 

"Tak perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya 
hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. 
Itulah kewajiban manusia jika melihat kemungkaran." 

Tiba-tiba Mari terisak-isak, 

"Kau telah menyelamatkan kehormatanku Zul. 
Kalau tadi tidak ada kau, entah apa jadinya diriku saat 
ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!" 

"Berterima kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang 
menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke 
sini pagi ini." 

Mari sepertinya tidak mendengar kalimat yang 



Uziek Collections

diucapkan Zul. la menundukkan mata dan larut dalam 
tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa syukur 
yang membuncah-buncah. Beberapa saat lamanya 
hanya isak tangis Mari yang terdengar. Zul hanya bisa 
diam di tempatnya. 

"Terima kasih Zul, kau telah menyelamatkan 
kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang selama 
ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku 
merasa akan hidup sia-sia. Aku sangat berhutang budi 
padamu." 

Mari kembali mengucapkan rasa terima kasih 
dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa merasakan 
itu. la hanya bisa menjawab pelan, 

"Ingatlah Allah Mbak. Berterima kasihlah pada 
Allah." 
"Iya Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah 
masih menyayangiku." 
"Iya Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga 
terus menyayangi Mbak." 
"Allahlah yang mengatur kau datang tepat pada 
wakrunya." 
"Iya Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak." 
"Aku tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang 
ke rumah ini. Sungguh aku sama sekali tidak menyangka." 
Guman Mari sambil mengangkat muka dan 
menghapus airmatanya. 
"Bagaimana ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak. 
Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?" 

"Begini lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak 
libur. Pagi ini aku mencuci sampai jam delapan. Aku mau 
berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman sudah 
berangkat pukul setengah delapan. Kira-kira jam 
sembilan kurang seperempat aku sudah siap untuk 
berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Aku 
mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau 
payungku dipinjam sama temanku yang tinggal di 
Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon ke kantor tempat aku 
kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada mobil yang 
nganggur. Semuanya sedang dipakai. Tapi pihak kantor  


Uziek Collections

juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera 
menjemputku. 

"Karena hujan sangat deras, aku diminta tetap di 
rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi ijin 
untuk datang setelah Zuhur. Bahkan boleh libur. 
Akhirnya aku santai di ruang tamu ini dengan tetap 
memakai pakaian yang biasa aku gunakan kerja. Pukul 
sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil 
menderu. Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak curiga 
sedikit pun. Kukira itu adalah orang kantor yang datang 
menjemputku. 

"Tanpa curiga, aku langsung membuka pinta lebarlebar. 
Alangkah terkejutnya diriku ternyata yang datang 
adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali, 
tapi sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk 
bahkan langsung mengunci pintu itu. Lalu ia memintaku 
untuk menuruti keinginan nafsunya. Jelas aku menolak. 
Aku lebih baik mati daripada menyerahkan kehormatanku 
padanya. Ia kalap. Amarahnya memuncak. 

Pandanganya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan. 
la berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat 
tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku 
sekuat tenaga. Prinsipku lebih baik mati daripada 
diperkosa. 

"Aku terus melawan. Namun aku adalah seorang 
perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya. 
Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku 
nyaris tidakberdaya karena kehabisan tenaga. Dan dia 
nyaris mendapatkan apa yang diinginkannya. Tiba-tiba 
kau datang. 

"Kau datang dan membuat bajingan itu terpelanting. 
Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan 
yang menyambar penjahat itu dengan cemeti mahasaktinya. 
Malaikat yang diturunkan Tuhan karena 
rintihan doaku di saat paling kritis. Malaikat dalam arti 
sebenarnya. Ternyata bukan, yang datang bukan 
malaikat tapi manusia. Mahakuasa Allah." 




Uziek Collections

Mari kembali terisak-isak. 

Zul diam mematung di tempatnya. 

"Dik bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi 

ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dengan 
apa kau membukanya?" 

Zul menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan 
kronologisnya bisa sampai di rumah itu. Tentang 
keinginannya untuk datang ke rumah itu. Keinginan 
yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak bisa 
ditolaknya. la juga bercerita tentang kunci Linda yang 
masih di tangannya. Mari mendengarkan cerita Zul 
dengan seksama dan dengan mata berkaca-kaca. la
merasakan kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah 
kepadanya. 

"Siapakah yang menghadirkan keinginan untuk 
datang kemari itu kalau bukan Allah Mbak? Dan 
siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada 
ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan 
Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan 
pertarungan tadi kalau bukan Allah?" 

Airmata Mari kembali meleleh. 
Zul diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti 
kesunyian. 
"Tetapi Zul, walau bagaimana pun aku sangat 
berhutang budi padamu Zul. Bagaimana aku harus 
membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka 
memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, 
lalu menarik pandangannya ke lantai. 
"Sudahlah Mbak. Aku merasa tidak berbuat apa-apa 
selainmelakukan kewajibanku sebagai seorang manusia 
yang melihat kezaliman di depan mata. Mbak jangan 
mengatakan hal seperti itu lagi." 
"Kau harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa 
aku sangat berhutang padamu." 

"Sesuatu itu apa Mbak?" 
 


Uziek Collections

"Si W tadi itu, ia datang mengatakan ingin 
meminta haknya sebagai seorang suami. Haknya 
yang katanya belum pernah aku berikan padanya 
setelah dia menikahi aku dan membayar mas kawin 
padaku." 

"Aku tidak paham maksudnya Mbak." 

"Maaf, biar aku perjelas. Pada hari aku menikah 
dengannya itu, aku sedang datang bulan. Jadi ia tidak 
menjamah kesucianku. Biasanya aku datang bulan lebih 
satu minggu. Lha seminggu kemudian, artinya seminggu 
setelah akad nikah ia pergi ke Jakarta, dan saat itu aku 
masih dalam kondisi datang bulan. Jadi ia sama sekali 
belum menjamah kesucianku. 

"Seperti yang dulu pernah kuceritakan kepadamu. 
Kalau tidak salah aku pernah cerita padamu Zul. Dia pergi 
ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata beberapa hari 
kemudian ia tertangkap dalam kondisi over dosis di sebuah 
hotel. Ia masuk penjara. Dan aku kemudian tahu semua 
kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai. 
Tak bisa ditawar lagi, karena aku tidak mau punya suami 
seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar telah 
melampaui batas. Jadi meskipun aku telah menikah 
sejatinya kesucianku belum pernah dijamah oleh suamiku. 
Dan sampai hari ini mahkota kesucianku belum tersentuh 
oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku 
masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu. 

"Kau harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian 
aku menjaga mahkota ini. Betapa mati-matian aku 
menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang setiap saat. 
Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W itu datang mau 
merenggut mahkota itu. Dan mahkota kesucian yang 
lebih berharga dari nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan, 
kalau saja kau tidak datang. Inilah Zul sesungguhnya 
yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus 
tahu, kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku. 
Aku benar-benar berhutang padamu." 

Mendengar cerita Mari, hati Zul bergetar. Tanpa ia 
sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang 



Uziek Collections

sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam 
hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa bangga karena ia 
bisa menyelamatkan kesucian seorang wanita. Ia 
berharap apa yang dilakukannya itu dinilai ibadah oleh 
Allah. Dan apa yang dilakukannya itu bisa menghapuskan 
dosa-dosanya saat ia masih remaja dulu. Ia 
kembali teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis 
tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan 
yang menistakan kesucian gadis itu. Untunglah saat itu 
tidak terjadi, karena terhalang oleh keadaan yang tidak 
memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur 
kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum 
ternista. 

"Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa 
dan aku mampu aku akan memenuhinya." Ucap Mari 
dengan suara jelas tanpa isak tangis. 

'Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak 
terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus 
mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi 
wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang 
aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia." 

"Baik Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai 
lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa Zul?" 

"M...tidak usah repot-repot Mbak." 

'Ah tidak repot kok Zul." 

Zul melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu 
lama di rumah itu. Ia teringat bahwa ia harus ke kampus. 

Ada janji dengan seorang teman. la bangkit dan 
memanggil Mari yang sudah melangkah ke dapur. 
"Mbak Mari!" 
"Ya." Mari menghentikan langkah dan menoleh. 
"Tak usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan. 
Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur." 
"Tidak bisa ditunda barang satu dua menit Zul." 

"Maaf Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya  


Uziek Collections

saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang 
saya. Dan ini kuncinya Linda." 

"Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan 
barang-barangmu." 
Mari masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang 
milik Zul dari kamarnya. 
"Ini kan Zul? Ada yang lain?" 
"Tidak Mbak, itu saja." 

Zul mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan 
pribadinya yang sebenarnya jika dilihat tidaklah terlalu 
berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk, dan mushaf 
kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan. 

"Aku tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul." 
"Ah Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan 
saja Mbak, anggap saja saya tidak pernah berjasa apaapa 
pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya Mbak. Jaga 
diri baik-baik." 
Zul melangkah keluar rumah. Mari mengikuti 
sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari 
memanggil namanya. 

"Zul!" 

Zul menghentikan langkah dan menoleh ke bela


kang. Mari memandanginya lekat-lekat. Zul meman


dang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu. 
"Ya ada apa Mbak?" 
Mari ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. la 

lalu pura-pura bertanya, 
"M..m...kau ada nomor hp Zul?" 
"Pakai nomor teman saya yang dulu saya gunakan 

SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?" 
"Ya baik. Masih tersimpan." 
"Ada yang lain Mbak?" 



Uziek Collections

"Zul, aku takut." 
"Takut apa? Takut kalau dia datang lagi?" 
"Iya." 
"Percayalah padaku Mbak, dia tidak akan berani 

datang lagi. Dia sudah kapok! Dia menganggap aku ini 
juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan kaki 
kanannya sudah hancur! Kalau pun berniat datang 
mungkin satu bulan lagi, setelah ia sembuh dari 
lukanya." 

"Tapi aku kuatir dia punya teman." 
"Dan dia juga anggapan aku punya teman banyak. 
Mbak tidak usah kuatirlah. Kalau Mbak kuatir, kunci 
rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon polisi. Atau 
Mbak pindah saja dulu ke rumah teman yang aman. 
Maaf Mbak ya saya buru-buru." 
"Iya Zul, terima kasih ya." 

"Ya. Assalamu'alaikum." 

"Wa'alaikumussalam." 

Mari berdiri memandangi Zul sampai hilang dari 
pandangan. Setelah itu ia memandang ke arah langit 
yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis pun sudah 
tiada. Mendung mulai pudar. Dan matahari seolah ingin 
menyibak awan. Mari berulang kali memuji kekuasaan 
Tuhan. Ia lalu masuk rumah. Menutup pintu dengan 
rapat. Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar suara azan 

* * * 
 


Uziek Collections

Delapan 

Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu 
semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam 
itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang 
wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah 
ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan 
Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur 
katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya. 
Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam 
hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa yang
ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu. 
Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa 
sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam 
hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa. 

Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya 
itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah 
banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita 
Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya. 
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak 
sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang12 
juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas 
bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan 
kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada 
dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek, 
tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin, 
bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. 
Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim 
keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah 
perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi 
perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat 
hatinya condong pada Mari. 

Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan 
Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya 
mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari. 
Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah 
tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak 
halal dari Yahya. Itu dosa. 

"Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya 
itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya. 



Uziek Collections


Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus 
menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya 
untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya 
menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala 
Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang 
berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur. 

Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya. 
Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai. 
Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau 
nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun 
bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia 
masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar 
sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga 
ialah yang harus menanggung sepenuhnya sewa 
rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama
temantemannya 
saja, masih terasa berat membayarnya. 
Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda 
motor juga belum lunas. 

Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa 
meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri 
bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai 
pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga 
tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya 
hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika 
Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia 
menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya 
pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari 
karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah 
itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja. 
Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya 
perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang 
terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang 
benar. 

Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang 
ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat 
apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya 
seolah mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah 
payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah  


Uziek Collections

takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau 
kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan 
seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak 
harus berdarah-darah melewati pergulatan hidup di 
Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan 
seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau 
pulang dengan belum meraih kegemilangan yang 
dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak 
turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis; 

'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena 
tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia. 
Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau 
kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak 
mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih 
baik! " 

Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat 
bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan 
aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima 
kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang 
dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya. 

Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan 
pukul dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem
bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia 
ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara 
cinta yang membuncah di dalam dadanya. 

Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya. 

"Ada apa Zul?" 

"Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?" 

"Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang." 

"Hilang?" 

"Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Pur


duraya. Pinjam Mas Yahya saja." 



Uziek Collections

"Segan." 
"Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok 

pagi." 
"Iya dah." 
Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk 

bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondarmandir 
di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang 
yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca 
Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah 
lusuh, yang ia hampir hafal isinya. Itulah yang 
dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba. 

* * * 

Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel 
yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal 
dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia 
segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke 
mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah 
merencanakan untuk membeli hand phone tapi belum juga
kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali 
ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti 
orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa 
menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu 
kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul
bicara. 

"Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau 
sedang sakit Zul?" 
"Tidak ada apa-apa kok Mas?" 

"Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain 
bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku 
orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak 
ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang. 

Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang 
merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan. 
"Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?" 
"Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi 
tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."  


Uziek Collections


"TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas. 
Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak 
rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang 
ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali 
mengiyakan. 

"Iya Mas." 

"O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. 

Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?" 
"IyaMas." 
"Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih 

TKW?" 
 

Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya. 
Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia 
tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan 
Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak 
sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di 
rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan 
aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan 
jawaban yang klasik, 

"Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku 
melihat diabaik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara 
otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang 
TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi 
penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan 
banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan 
cuma label-label saja Mas." 

Yahya tersenyum, 
"Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu 
aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau 
mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan 
baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa 
dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang 
menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya 




Uziek Collections

sambil menunjuk dadanya. 
"Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya. 
"Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut 

dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah 
daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal 
di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan 
seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu 
itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah
maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan 
Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu 
zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu 
tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari 
tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu 
justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya 
tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti 
tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika 
seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah 
daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang 
lebar. 

"Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu 
Mas?" 

"Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun 
tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang 
diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk 
menikah Zul? 

Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa 
menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan 
hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Halhal 
yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia 
sampaikan kepada Yahya. 

"Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?" 
"Iya, mengambil barang-barang saya yang masih 
tertinggal di sana?" 
"Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh 

cinta?" 

Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi.  


Uziek Collections


Yahya malah tersenyum. 

"Kau sedang terkena sihir Zul." 

"Terkena sihir apa Mas?" 

"Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku 
bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara 
dengan dia. Aku yakin itu." 
"Benar." 
"Wajar." 
"Maksudnya wajar, wajar bagaimana?" 

"Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga 
tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, 
kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu 
cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa 
lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat 
imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu 
perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur 
imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista 
dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan 
itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang 
ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang 
seharusnya tidak terjadi." 

"Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?" 
"Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat 
hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, 
iya kan?" 

Zul malu mengakuinya. 

"Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil 
balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika 
ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu 
menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat yang
harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau 
engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusny a 
ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang 
bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu 
adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh 



Uziek Collections

berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar 
ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina." 

"Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu 
Mas?" 

"Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof 
menyebut manusia sebagai hayawanun nathiqun. 
Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya 
saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi 
manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja. 
Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan 
nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. 
Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia. Al-Quran 
menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat: 
'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. 
Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13 Orang-orang 
yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang 
lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran 
penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun 
dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan 
untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan 
kenestapaan." 

"Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang 
benar menurut Sampeyan?" 

"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah. 
Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan 
bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau 
mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan 
paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan 
karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah 
seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena 
bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga 
bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan. 
Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. 
Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut 
terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu 
semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan 
memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau 
mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan 
agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan  


Uziek Collections

akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena 
harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. 
Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar." 

"Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan 
fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan 
dan terbelenggu oleh sihir Mari." 

"Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan 
diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak 
pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan 
aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat 
Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah 
di kubur." 

"Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi 
cambuk bagiku." 

"Malu aku mengingatnya." 
"Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan 
ingin aku binasa Mas?" 
"Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA 
Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu 
ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh 
orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga 
mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak 
Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di 
antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada 
yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku 
benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk 
menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan. 
Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia 
menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia 
membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis. 
Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman. 
Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia 
adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena 
masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang 
padaku, bahwa selama ini cuma main-main. Sebenarnya 
dia sudah punya tunangan di Surabaya. Hatiku seperti 
dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku 
langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah 
sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orang-



Uziek Collections

orang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti 
orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul." 

"Terus sembuhnya bagaimana Mas?" 
"Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat 
orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja di
Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar 
menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku 
tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh 
setelah aku dibawa ke sebuah pesantren. Di pesantren 
itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga 
dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F 
hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu 
aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang 
semu sangat menyiksa dan menyakitkan." 

Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat 
sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa 
mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di 
dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya 
dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang 
menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti 
bayangan Mari. 

*** 

Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal 
yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah. 
Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya 
pendamping dan tempat untuk mengungkapkan 
gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja 
dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi 
perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang 
pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah 
nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari 
menelpon Zul jadi sia-sia. 

Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana 
dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada 
Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul. 

Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, 
ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama  


Uziek Collections

hidupnya. Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak 
mendapatkan pengabdiannya. 

Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi 
ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul, 
selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya." 

Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. 
Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian 
Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah 
serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu 
akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna 
dan tidak sia-sia." 

Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. 
Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri 
kepada Allah dan menjadi wanita salehah yang 
sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya 
dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun 
masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat. 
Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim 
yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu 
agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya. 

Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus 
berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi 
tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak 
pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap 
berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai 
dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung 
hatinya. 

* * * 
Sembilan 


Dua bulan berlalu sejak Yahya mengajak Zul 
berbicara dari hati ke hati. Yahya berharap Zul bisa 
menemukan kesadaran prima dan semangat membaranya 
kembali seperti ketika awal-awal tinggal di flat 
itu. Namun harapan Yahya belum menjadi kenyataan. 
Kenyataannya Zul tetap banyak murung dan melamun. 
Tidak gesit dan semangat dalam bekerja, berusaha, dan 



Uziek Collections

belajar. 

Seringkali Yahya menemukan Zul hanya tidur di 
kamar satu siang penuh, padahal ia yakin Zul ada jadwal 
kuliah dan kerja. Yahya biasanya mengingatkannya 
dengan bahasa sehalus mungkin, namun Zul seperti tidak 
mendengar apa-apa. Yahya beberapa kali menyarankan 
pada Zul jika memang harus mendapatkan Mari, kenapa 
tidak secara jantan menemui dan mengajaknya menikah. 
Obat paling mujarab untuk orang yang sakit karena cinta 
adalah menikah. Tapi Zul gamang dengan dirinya sendiri. 
Keraguan mengambil langkah telah membuatnya seperti 
orang yang kehilangan cahaya kehidupan. Keadaan Zul 
yang sedang sakit karena cinta itu menjadi perhatian dan 
keprihatian semua penghuni flat itu. 

Pak Muslim merasa kuatir keadaan Zul semakin 
parah. Jika parah, maka bisa berpengaruh pada suasana 
rumah. Sudah dua bulan Zul tidak membayar uang sewa 
rumah. la minta dipinjami dulu. Namun ia bekerja tidak 
seserius dulu. Seolah bekerja seingatnya saja. Jika ingat 
bekerja, jika tidak ya tidak bekerja. Pak Muslim juga 
kuatir Zul tidak bisa mengikuti ujian semester depan jika 
sering bolos kuliah. Suasana rumah terasa mulai tidak 
nyaman. Maka Pak Muslim sebagai yang paling tua 
berinisiatif mempertegas sikap Zul. Jika ingin serius kuliah 
maka ia harus segera bangkit dan merubah sikap. Jika 
sudah tidak ingin kuliah, ia melihat Zul sebaiknya 
mencari tempat yang lain. Sebab kemalasan Zul bisa 
merusak situasi rumah yang selama ini nyaman dan 
kondusif untuk belajar. 

Pak Muslim tidak mau perkataan najis satu tetes 
merusak kesucian air satu gentong terjadi di rumah itu. 
Dan tidak ada najis yang paling merusak kesucian umat 
yang ingin berprestasi kecuali kemalasan. Ia tidak mau 
Zul jadi najis itu. Zul harus diselamatkan. Jika Zul tetap 
memilih jadi najis itu maka ia harus disingkirkan agar 
tidak merusak kesucian semangat orang satu rumah. 

Pagi itu setelah shalat Subuh Pak Muslim membangunkan 
Zul yang masih mendengkur di kamarnya. 
Berbeda sekali Zul yang dulu dengan Zul saat itu. Zul  


Uziek Collections

saat awal-awal datang dulu sudah bangun sebelum 
Subuh tiba dan selalu di shaf pertama. Tapi Zul saat itu 
adalah Zul yang harus berkali-kali diingatkan dan 
dibangunkan baru shalat Subuh dengan wajah malas 
tanpa cahaya. 

Begitu Zul selesai shalat Pak Muslim langsung 
memanggil Zul ke kamarnya. Dengan menunduk Zul 
masuk ke kamar dosen Universitas Negeri Yogyakarta 
yang mengagumi pemikiran-pemikiran Muhammad 
Iqbal. 

"Duduk sini Zul!" Pak Muslim mempersilakan Zul 
duduk di kursi yang ada tepat di depannya. Setelah Zul 
duduk, Pak Muslim langsung menutup pintu kamarnya. 

"Zul, sudah tiga bulan ini aku lihat kamu sangat 
berbeda dengan saat kau pertama datang. Apa sebenarnya 
masalahmu Zul?" 

"M...tidak ada masalah Pak. Saya biasa-biasa saja." 

"Zul kau masih ingin kuliah?" 

"Ya tentu Pak." 

"Kau sadar dengan yang kauucapkan?" 

"Tentu saja sadar Pak." 

"Bagus. Jika kau ingin tetap lanjut kuliah kau harus 
bangkit dan mengembalikan semangatmu. Cukup tiga 
bulan saja kamu sakit. Ingat Zul, setiap detik kau berada 
di Kuala Lumpur ini ada harganya. Dan kau harus 
membayarnya. Flat ini kita menyewa. Air yang 
kaugunakan untuk membersihkan dirimu saat buang air 
juga harus dibayar. Kau makan tidak gratis. Kuliah tidak 
gratis. Semua ada tagihannya. Jika kau terus malas dan 
murung seperti itu kau tidak akan bertahan hidup. Kalau 
pun kau tetap hidup kau tak lebih bernilai dari sampah. 
Sampah masih bisa didaur ulang. Tapi manusia yang 
telah mati sebelum mati jauh merepotkan daripada 
sampah. 



Uziek Collections


"Aku ingin melihatmu berjaya. Meraih prestasi yang 
gemilang Zul. Sungguh aku sangat menginginkan itu. 
Aku akan membantumu semampuku. Itu jika kamu mau. 
Jika kamu tidak mau aku tidak berhak memaksamu. Kau 
lebih berhak menentukan jalan hidupmu. 

'Aku tahu kau masih sakit. Hatimu masih dijajah oleh 
rasa cintamu pada wanita yang kaucintai itu. Ketahuilah 
Zul, tak ada dokter yang bisa menyembuhkanmu kecuali 
kamu sendiri. Sebagai orang tua, aku hanya bisa 
memberikan beberapa saran untuk kebaikanmu dan 
kebaikan kita bersama. 

"Saranku yang pertama Zul, jika kamu ingin sukses 
dan berhasil lupakan wanita itu. Jodoh itu tanpa dikejar, 
tanpa dibuat bersakit-sakit seperti kau sekarang ini jika 
tiba saatnya akan datang juga. Jodohmu sudah ditulis 
oleh Allah. Kalau jodohmu memang wanita bernama Siti 
Martini itu ya nanti Allah pasti akan mempertemukan 
kamu dengan dia. Tapi jika jodohmu bukan dia, sampai 
kau minta banruan seluruh jin di jagad raya ini untuk 
membantumu mendapatkan dia ya kamu tidak akan 
mendapatkannya. 

"Sementara ilmu dan prestasi juga amal ibadah. Jika 
tidak kauusahakan dengan serius tidak akan kauraih. 
Ilmu tidak bisa kauraih dengan tiduran dan malasmalasan. 
Prestasi dan kesuksesan tidak akan kauraih 
kecuali dengan pengorbanan penuh pikiran, tenaga dan 
perasaan. Kalau perlu bahkan nyawa. Tak ada dalam 
catatan sejarah ada orang sukses hanya dengan 
melamun, tidur, dan banyak angan-angan seperti yang 
kaulakukan tiga bulan ini. Tak ada seorang juara di 
bidang apapun kecuali ia pasti seorang pejuang yang 
ulung. Kalau ingin mendapatkan ilmu yang cukup, 
berprestasi dan hidup sukses kau harus bangkit, 
bersemangat, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan 
gigih berjuang. Itulah jalannya orang-orang yang sukses. 

"Zul, godaan wanita adalah godaan utama orang 
mencari ilmu. Dan fitnah perempuan adalah salah satu 
fitnah yang sangat dikuatirkan oleh Nabi akan melumpuhkan  


Uziek Collections

umatnya. Bahkan saat Nabi berdakwah di 
Makkah, di antara hal yang ditawarkan orang-orang 
kafir Quraisy untuk membujuk Nabi agar menghentikan 
dakwahnya adalah dengan mengiming-imingi Nabi akan 
dinikahkan dengan wanita paling cantik di Arab. Tapi 
Nabi menolaknya. 

"Zul, siapa pun yang kasmaran, siapa pun yang jatuh 
cinta seperti kamu saat ini. Maka akal, pikiran dan 
perasaannya akan terus terfokus untuk mendapatkan 
yang dicintainya. Jika keadaan seperti itu terus berlarut, 
maka kewajiban-kewajibannya, tugas-tugas utamanya 
akan segera terlupakan. Dan saat itu hanya tinggal 
menunggu datangnya kebinasaan. 

"Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya pelajar dan 
mahasiswa yang gagal karena skandal cinta. Tidak 
terhitung jumlahnya pemimpin besar dunia yang 
terpuruk karena skandal cinta. Apakah kau mau 
menambah panjang daftar itu dengan memasukkan 
namamu. 

"Penuntut ilmu jika jatuh cinta pada lawan jenisnya, 
maka ilmu itu tidak akan bisa melekat pada akal, pikiran 
dan hatinya. Sebab akal, pikiran dan hatinya telah 
dikotori oleh bayangan semu kekasih hatinya. Ada 
pujangga Arab yang menulis sajak begini Zul, 

Jika aku sedang sibuk dengan gadisku 
Yang parasnya laksana cahaya pagi 
Maka aku enggan memikirkan yang lain 

"Maka, aku ulangi lagi saranku yang pertama, jika 
kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Saat 
ini berkonsentrasilah sepenuhnya untuk menuntut ilmu. 
Jika ia jodohmu selesai S.2 aku doakan semoga bertemu. 
Dan bertemu dalam keadaan yang paling baik dan 
paling barakah. Jika dia tidak jodohmu, semoga kau 
dianugerai jodoh yang lebih baik dalam segalanya dari 
wanita itu." 

Zul diam saja di tempatnya. Ia tidak membantah, 
juga tidak mengiyakan. Tapi ia mendengarkan dengan 



Uziek Collections

seksama. Pak Muslim jarang sekali bicara serius seperti 
ini. Jika Pak Muslim bicara seperti ini artinya masalah 
yang terjadi memang sudah parah. 

Pak Muslim mengambil nafas sebentar lalu melanjutkan, 

"Saranku yang kedua Zul, jika kau tidak bisa mengikuti 
saranku yang pertama, aku sarankan kau untuk mendatangi 
wanita itu secara jantan. Dan nikahi dia. Luapkan 
seluruh cintamu padanya. Dan hiduplah dalam keluarga 
yang sakinah mawaddah wa rahmah. Menikah itu jauh 
lebih baik daripada kau hanya memikirkan dia siang malam 
sampai sayu seperti mayat hidup. 

"Jika kau memilih saran yang kedua ini, aku akan 
membantumu semampuku. Aku akan meminjami modal 
untuk pernikahanmu semampuku. Aku bersedia 
mengantarmu menemui wanita itu, juga bersedia 
membantumu menemui keluarganya. Dan jika ini yang 
kauambil, aku minta kau jangan berhenti kuliah. Tetaplah 
lanjutkan kuliah. Hiduplah sehemat mungkin. Tetaplah 
bertahan sampai lulus. Kau harus lebih giatbekerja dan 
berusaha. Sebab kau tidak hanya menanggung beban 
hidup dirimu sendiri, tapi juga menanggung orang lain. 

"Jika saranku yang kedua juga tidak bisa kauikuti, 
maka aku punya saran ketiga, yaitu ya terserah kamu. 
Hiduplah sesukamu. Terus seperti sekarang juga boleh. 
Tapi dengan memohon pengertiannya aku minta kau 
meninggalkan rumah ini. Bukan kami tidak sayang dan 
tidak menghargai kamu. Sama sekali tidak. Kami 
menghargai kamu, dan cara hidupmu. Tapi perlu kamu 
ketahui juga, cara hidupmu yang hanya malas-malasan, 
banyak melamun dan berangan-agan itu dapat meracuni 
kesehatan lingkungan rumah ini. Cara hidupmu yang 
mulai tidak memikirkan membayar flat adalah cara 
hidup orang yang tidak bertanggung jawab. Itu dapat 
merusak rasa saling percaya yang telah tercipta dengan 
indah di rumah ini. Jika kau pilih saran yang ketiga ini, 
kami akan membantumu mengangkatkan barangbarangmu, 
juga akan membantumu menemukan tempat 
yang kauanggap cocok bagi cara hidupmu. Kau masih 
boleh bermain ke sini, tapi tak bisa tinggal di rumah ini.  


Uziek Collections


"Itulah Zul, tiga saran yang bisa aku sampaikan 
kepadamu. Kau bisa memilih salah satunya. Dan kami 
tidak keberatan sama sekali yang mana yang kamu pilih. 
Tapi jika boleh berharap saya pribadi berharap kaupilih 
yang pertama. Maafkan aku jika harus berlaku tegas 
padamu. Untuk sebuah kebaikan ketegasan tidak ada 
salahnya dilakukan. Dan ini pun terpaksa aku lakukan 
setelah melihat perkembanganmu yang tidak juga 
menunjukkan ada perbaikan." 

Setelah menyampaikan tiga saran itu, bisa juga 
disebut tiga opsi untuk Zul, Pak Muslim diam menunggu 
reaksi Zul. Keheningan menyelimuti kamar itu sesaat 
lamanya. Zul tampak sedang mengolah saran Pak 
Muslim yang diseganinya itu. Pak Muslim yang selama 
ini sangat baik padanya. Bahkan, ia masih punya hutang 
beberapa ratus ringgit kepadanya untuk membeli sepeda 
motor butut, dan Pak Muslim tidak pernah menyinggung-
nyinggung hal itu sama sekali. 

"Begini Pak," Suara Zul memecah keheningan. Pak 
Muslim langsung mengangkat mukanya dan menatap 
Zul penuh perhatian. 

Zul merubah sedikit posisi duduknya lalu menyambung 
perkataannya, 

"Saya minta maaf dan saya menyesal sekali jika 
kelakuan saya selama ini buruk. Dan itu membuat tidak 
nyaman rumah ini. Saya akui Pak, saya sedang tidak 
stabil. Saya berterima kasih sekali atas kesabaran Pak 
Muslim dan teman-teman selama ini. Saya juga berterima 
kasih atas saran-saran Pak Muslim. Saya telah menimbang 
ketiga saran itu. Terus terang saran yang pertama 
saya rasakan akan berat bagi saya. Saya kuatir saya akan 
semakin jatuh, semakin tidak bisa menahan perasaan 
yang mendera hati ini. Adapun saran yang ketiga, saya 
juga berat menerimanya, sebab saya masih tetap ingin 
menjadi orang baik dan sukses Pak. Saya bersyukur 
bertemu dengan orang seperti Bapak dan teman-teman 
yang masih mau mengingatkan dan menasihati. Jika saya 
pilih yang ketiga, saya rasa saya akan binasa. Dan jika 



Uziek Collections

saya terus begini, Bapak benar, saya akan binasa. 

"Maka saya memilih saran yang kedua Pak. Lebih 
baik saya menikah saja dengan gadis itu. Dia masih gadis 
Pak. Dan baik hatinya." 

Pak Muslim mengangguk-anggukkan kepala. 

"Jadi kau benar-benar akan menikahi dia?" 

"Iya Pak." 

"Kau mantap?" 

"Mantap Pak. Toh sudah saatnya saya menikah. 
Sekarang atau besok sama saja, saya harus menikah." 

"Kau siap dengan segala risikonya?" 

"Siap Pak. Mas Yahya sudah memberikan gambaran 
yang jelas. Bapak tadi juga menambahkan penjelasan. 
Saya harus bagaimana jika menikah?" 

"Bagus! Itu baru lelaki! Kalau begitu kau harus 
semangat, kau akan menikah Zul! Kau akan jadi suami! 
Kau akan jadi kepala rumah tangga! Kau akan jadi ayah! 
Ayo semangat!" 

"Iya Pak! Saya akan bangkit! Saya akan semangat!" 
"Bagus! Kenapa tidak begird sejak dulu-dulu itu Zul, 
hah!?" 
"Jadi Bapak benar-benar mendukung saya menikahi 
dia?" 
"Menikah kan baik, kenapa tidak saya dukung. 
Sudahlah, kapan kau akan menemui dia, aku akan 
menemani kalau perlu. Dan kapan kau akan melamarnya?" 
"Bagaimana kalau aku temui dia besok Pak?" 
"Bagus semakin cepat semakin bagus! Sekarang kau 
harus melihat kembali jadwal-jadwalmu. Harus kautata. 
Jadwal kuliahmu. Jadwal kerjamu dan lain sebagainya." 
"Iya Pak. Baik!" 
"Besok ya berangkat menemui dia?" 
"Iya Pak."  


Uziek Collections

"Jam berapa Zul." 
"Pagi-pagi saja Pak sebelum jam delapan. Dia biasa 
berangkat kerja jam delapan." 
"Baik. O ya sebaiknya kau telpon dia dulu. Agar dia 
tidak pergi." 
"Baik Pak." 
Pak Muslim gembira melihat Zul kembali ceria. 
Orang jatuh cinta memang begitu. Jika harapan bertemu 
dengan yang ia cintai datang ia akan hidup pcnuh 
semangat dan harapan. Zul sendiri merasakan matahari 
kehidupannya yang selama ini redup kini kembali 
bersinar terang. 

Zul langsung turun ke bawah mencari wartel. Satu 
wartel telah buka, ia langsung menghubungi nomor Mari. 
Berulang kali nomor itu ia hubungi namun tidak bisa 
nyambung. Ia agak kecewa. Ia kuatir Mari ganti nomor. 
Ia juga menyesal kenapa selama ini ia ragu-ragu dan 
gamang setiap kali mau menghubungi nomor Mari. Tiga 
bulan lebih, sejak kejadian percobaan pemerkosaan di 
rumah Mari itu, ia tidak berhubungan dengan Mari. Ia 
kuatir Mari telah pindah rumah. Tapi ia yakin Mari akan 
mudah dicari. Jika pun pindah rumah, teman-teman Mari 
pasti masih ada yang tinggal di situ. 

Sorenya Zul kembali mencoba mengontak nomor 
Mari, tapi tidak berhasil juga. Berkali-kali operator seluler 
menjelaskan nomor itu sedang tidak aktif. Zul kembali 
ke flat dengan hati kecewa. Namun Zul tetap bersemangat 
besok pagi berangkat ke Subang Jaya untuk 
menemui Mari dan mengungkapkan isi hatinya. Temanteman 
satu rumahnya mendukung langkah yang akan 
diambil Zul. Rizal bahkan siap membantu mencarikan 
rumah yang harga sewanya murah untuk pasangan 
keluarga. Yahya menyemangati Zul untuk bangkit dan 
tidak kehilangan semangat. 

Malam itu, untuk pertama kalinya Zul tidur dengan 
dada terasa lapang. Dan malam terasa segar dan ringan. 
Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang ia rasakan 
terasa sumpek dan berat. Terbitnya harapan yang terang 
dalam hati membuat hidup terasa ringan dan menyenangkan. 
* * * 



Uziek Collections


Pagi itu ia telah bangun sebelum azan Subuh 
berkumandang. Mengetahui hal itu Pak Muslim sangat 
bahagia. Zul agaknya mulai mendapatkan kembali 
nyawanya. Selesai shalat Subuh Zul dan Pak Muslim 
langsung meluncur dengan KTM ke KL Sentral. Dari KL 
Sentral mereka naik bus Rapid KL ke Subang Jaya. 

Jam tangan Pak Muslim menunjukkan pukul 07.25 
ketika mereka turun dari bus dan memasuki kawasan
perumahan 
Taman Subang Permai. Hati Zul berdegup kencang 
ketika ia merasa semakin dekat dengan rumah Mari. 

Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai di 
depan rumah Mari. Zul agak terkejut. Rumah itu sepi. 
Dan di pintu rumah serta di pagar gerbang rumah itu 
ada kain kuning yang terbentang bertuliskan: For Sale/ 
For Rent. Dan ada nomor telpon di bawahnya. 

"Ini rumahnya Zul?" 

"Iya Pak." 

"Kauyakin." 

"Tak mungkin salah Pak. Itu nomornya 8A." 

"Berarti mereka telah pindah. Dan mungkin telah 
lama. Kaubaca kan rumah itu ditawarkan untuk dijual 
atau disewa." 
"Iya Pak, terus bagaimana ini Pak?" kata Zul 
murung. 
"Kau masih bersemangat untuk mencarinya?" 
"Tentu Pak. Sampai ke ujung dunia pun kalau perlu." 
"Wah kau ini, jawabanmu itu kayak lakon di film 
saja." 
"Tapi aku harus menemukan dia Pak?" 
"Gampang. Coba kita tanya tetangga sebelah. Siapa 
tahu mereka tahu ke mana pindahnya Siti Martini dan 
teman-temannya." 
"Iya Pak." 
 


Uziek Collections

Mereka berdua lalu bertanya pada tetangga sebelah 
kanan rumah itu. Yang mereka tanya seorang wanita 
Melayu setengah baya yang sedang menggendong anak 
kecil. Ketika Pak Muslim menanyakan perihal Siti Martini 
dan teman-temannya yang pernah tinggal di rumah No. 
8A, wanita itu menatap penuh curiga. Pak Muslim 
menangkap kecurigaan wanita itu. la menegaskan 
bahwa dirinya bermaksud baik, tidak ada maksud jahat. 
Wanita itu malah masuk ke dalam rumah tanpa berkata 
apapun. Pak Muslim merasa ada yang tidak beres. Dua 
menit kemudian wanita itu keluar sambil membawa 
koran. la berikan koran itu pada Pak Muslim. 

"Sila Encik bace berita itu baik-baik!" kata wanita itu. 
Pak Muslim membaca berita di koran yang ditunjukkan 
oleh wanita itu. Pak Muslim membaca dengan 
seksama dengan wajah dingin. Zul yang berdiri di 
sampingnya turut membaca. Baru membaca tiga baris 

Zul langsut berkata setengah teriak, 
"Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!" 
Wanita itu memperhatikan Zul dengan wajah heran 
bercampur curiga. 

Pak Muslim menuntaskan bacaannya sampai akhir. 
"Tenang Zul, ini baca dulu sampai akhir baru kita 
pikir dengan jernih," kata Pak Muslim tenang. 
Dan dengan mata berkaca-kaca Zul membaca berita 
yang membuat hatinya remuk redam. Dengan jelas ia 
membaca nama inisial Siti M yang turut ditangkap pihak 
polis. Selesai membaca berita di koran itu airmatanya 
meleleh. Dengan suara lirih tertahan ia berkata pada 
dirinya sendiri, 
"Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya." 
Pak Muslim menukas pelan, "Tenang Zul. Sabar!" 

"Seminggu yang lalu polis menangkap mereke. 

Mereke semua penghuni rumah itu. Mereke semua 
perempuan lacur. Mereke menjadikan rumah itu markas 
pelacuran. Sekarang mungkin sedang dibui. Kalau boleh 
tahu Encik berdua ini ada hubungan apa dengan mereke 
berdua ya?" 



Uziek Collections


Pertanyaan wanita muda itu membuat Pak Muslim 
agak tergagap. Ia sempat bingung menjawabnya. Tapi 
spontan ia menjawab, 

"Dia ini adiknya, salah satu kakaknya ada yang 
tinggal di rumah itu. Dia ingin mengetahui keadaan 
kakaknya." 

"Aduh kasihan. Kakak awak sekarang di dalam bui. 
Ya tapi begitulah semestinya balasan untuk pelacur, 
perusak moral masyarakat." 

Hati Zul semakin perih. Ia mengajak Pak Muslim 
segera pergi meninggalkan tempat itu. Matahari harapan 
yang sempat bersinar di dalam hatinya kini sama sekali 
padam. Pak Muslim mengerti dengan kesedihan Zul. 
Beliau membesarkan hati Zul dengan berkata, 

"Ini skenario Allah yang terbaik Zul. Kau jangan 
malah lemah. Kau justru harus kuat. Sekarang fokuskan 
untuk belajar. Percayalah Allah akan memberimu ganti 
yang lebih baik. Percayalah!" 

"Iya Pak, insya Allah ini jadi pelajaran sangat 
berharga bagi saya. Doakan saya ya Pak. Dan jangan 
bosan menasihati dan membimbing saya." Jawab Zul 
sambil menyeka airmatanya yang meleleh di pipinya. 

* * * 
 


Uziek Collections

Sepuluh 

Sudah sepuluh jam Zul di Perpustakaan Akademi 
Pengajian Islam Universiti Malaya. Sejak jam delapan 
pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa berat. 
Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia 
memenjarakan diri di perpustakaan. Empat hari 
sebelumnya di Perpustakaan Fakulti Pendidikan. 

Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi Pengajian 
Islam untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil 
penulisan ayat dan hadis. Ia menulis tentang pendidikan 
pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir 
masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah 
kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah 
bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu 
minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi 
catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu 
bulan. 

Perpustakaan Akademi Pengajian Islam itu telah sepi. 
Di lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas 
perpustakaan telah mengumumkan dua puluh menit lagi 
perpustakaan tutup. Zul berdiri sejenak. Ia menggerakkan 
tubuhnya dengan memutar kedua tangan ke 
kiri dan ke kanan. Kepalanya ia jatuhkan ke kiri dan ke 
kanan. Setelah itu ia merapikan buku-buku yang baru 
saja ia baca. Kertas-kertas berisi catatan-catatan penting 
untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat. Lalu ia 
masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa tidak 
ada yang ganjil ia turun ke bawah. 

Di bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada adalah 
petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis 
melayu yang juga sedang berkemas dan siap pergi. Che 
Mazlan, petugas perpustakaan paling ramah menyapanya 
dengan tersenyum, 

"Sudah ketemu semua yang dicari Ustadz?" 
Karena memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz. 
Ia hanya menjawab dengan senyum dan menganggukkan 
kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa pening. Ia 
berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil tasnya. 



Uziek Collections

Memasukkan map plastiknya ke dalam tas. Dan 
melangkah keluar. Ia lihat jam tangannya. 
"Ashar baru mau masuk." 

la merasa harus segera mengisi perutnya yang sejak 
pagi hanya terisi sepotong roti canai dan segelas air putih. 
Ia bergegas turun ke tempat parkir. Sepeda motor tuanya 
begitu setia menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa 
jurus kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut 
itu membawanya meluncur ke kanlin kolej 12. 

Sore itu kantin kolej 12 padat pengunjung. Kantin yang 
dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti Malaya 
itu begitu hidup. Padat bergairah, namun tetap rapi dan 
bersih. Ada lima belas cafe dan kedai. Sore itu semua buka. 
Bisa dipastikan sembilan puluh sembilan persen
pengunjungnya 
adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih 
SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung, 
ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Cafe 
berkerudung coklat muda bertanya, "Minum apa Dik?" 

"Teh O14 panas Kak." Jawabnya sambil meletakkan 
piringnya yang penuh nasi dan lauk. la memang 
mengambil nasi dengan porsi banyak. Sebab ia merasa 
sangat lapar. Sepuluh jam duduk serius di perpustakaan 
telah membuat tenaganya terasa terkuras habis. 

"Berapa Kak? Tambah minum Teh O panas," 
tanyanya pada kasir. 
"Empat ringgit dua puluh sen." 

Ia keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat 
berkerudung putih itu memberinya uang kembali. Tiga 
keping uang logam. Lima puluh sen, dua puluh sen, dan 
sepuluh sen. Total delapan puluh sen. 

14 Teh O = Teh murni tanpa susu atau campuran lainnya. Jika
pesan dengan 
menyebut teh saja tanpa bilang O akan diberi teh tarik. Teh
tarik adalah teh 
campur susu yang dikocok. 
 


Uziek Collections

Zul melangkah mencari tempat yang kosong. Ia 
lemparkan pandangan matanya ke segenap arah. 
Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak 
sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya. 
Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak 
ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan 
mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri. 
Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya. 
Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya. 
Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan 
meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu 
piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi 
alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum 
mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan 
mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada 
yang menempati. 

Zul mulai makan dengan lahap. Ia merasakan 
kenikmatan luar biasa. 

"Hmm benar kata pepatah China, rasa lapar adalah 
koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada diri sendiri. 
Sesekali ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan 
ke kanan. Melemparkan pandangan kalau-kalau ada 
mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia rasa agak 
aneh, sore itu dari sekian pengunjung tidak ada satu pun 
mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Bahkan si Edy, si 
Gugun, si Rizal dan si Emil yang biasanya ada di kantin 
Kolej 12 pada jam seperti itu pun tidak ada. 

Ia terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India 
hendak minta ijin untuk duduk di depannya. Tampaknya 
mahasiswi itu agak ragu. Mahasiswi itu tidak jadi duduk 
satu meja dengannya. Mahasiswi itu memilih mencari 
tempat yang lain. 

Sambil makan ia tenggelam dalam lamunannya. Ia 
melamun tentang masa depannya. Selesai master ia harus 
bagaimana? Langsung pulang ke Indonesia dan mencari 
peluang kerja atau usaha, ataukah langsung saja 
melanjutkan studi mengambil program doktor? Kalau 
pulang ke Indonesia, di mana ia akan pulang? Ke tempat 
siapa? Ia merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa. Sejak 



Uziek Collections

kecil ia tidak melihat ayah dan ibunya. 

Menurut cerita Pakdenya, ibunya yang bodoh 
adalah korban penipuan. Ibunya kerja di sebuah pabrik 
di Semarang. Di tempat kerjanya ia kenal dengan 
seorang lelaki. Lelaki itu mengaku dari Lampung. Ibunya 
terpikat oleh penampilan dan mulut manis lelaki itu. 
Ibunya ikut saja ketika lelaki itu mengajaknya menikah 
secara siri. Asal sah menurut syariat tapi belum dicatat 
secara resmi di KUA. Pakdenya sebagai wali satu-satunya 
tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau 
menikah ya menikah serius. Diumumkan terangterangan 
dan dicatat secara resmi di KUA. Namun lelaki 
itu beralasan, keluarga besarnya harus datang ke Demak 
jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan 
biaya unruk itu. Nikah siri adalah solusi agar 
hubungan dua insan itu halal. 

Ibunya yang sudah cinta mati pada lelaki itu 
mendukung nikah siri. Ibunya bahkan mengancam akan 
bunuh diri jika Pakdenya tidak merestui. Akhirnya 
Pakdenya terpaksa menikahkan ibunya dengan lelaki itu 
secara siri. Lelaki itu hidup satu rumah dengan ibunya 
selama dua bulan. Setelah itu ia pamit pergi ke Lampung 
untuk menjenguk keluarganya. Dan ternyata tidak 
kembali. Padahal saat itu ibunya tengah hamil. Pakdenya 
mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang 
ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata 
alamatnya fiktif. Ibunya stres. Kesehatannya menurun. 
Dan meninggal saat melahirkan dirinya. 

Sejak itu ia ikut Pakdenya. Pakdenyalah yang ia 
sebut dengan panggilan ayah. Ia bahkan tidak tahu nama 
ayahnya. Ketika ia tanya sama Pakdenya nama ayahnya, 
Pakdenya memberikan KTP yang ditinggalkan ayahnya. 
Disitu tertulis sebuah nama. Tapi Pakdenya yakin nama 
itu pun fiktif, alias samaran. Ia merasa tidak punya ayah. 
Namun ia merasa sedikit tenang bahwa ia terlahir dari 
hubungan yang halal. Dengan menikah. Meskipun 
ayahnya menikahi ibunya dengan menipu. 

Dengan tidak mengenal ayahnya sejak kecil ia 
merasa bahagia karena tidak mendapatkan didikan  


Uziek Collections

untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk 
jujur dan bertanggung jawab. 

Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya 
Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya 
sudah meninggal. Pakde yang telah ia anggap sebagai 
ayahnya sendiri itu telah tiada. Sebenarnya ia telah 
menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun 
setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing 
dan tidak enak jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya 
sudah tidak lagi menempati rumah yang dulu, tapi kini 
telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah 
bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang 
lama, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya ia 
dengar telah dijual. Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia 
mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa. 

Dan jika ia terus lanjut program Ph.D, apakah ia akan 
hidup dengan cara seperti ini terus. Hidup dengan cara 
sapi perah. Hidup di Kuala Lumpur dengan tanpa 
mengenal istirahat. Hidup untuk bekerja sambil belajar. 
Itu yang ia rasakan. Jujur saja. Bisa saja ia mengatakan 
ia bekerja untuk hidup dan bekerja untuk belajar. Tapi ia 
merasa sepertinya telah diatur oleh waktu untuk bangun 
pagi, lari ke sana, lari ke sini. Bekerja di sana. Bekerja di 
sini. Waktu seolah telah memprogramnya begitu, agar 
ia bisa bertahan hidup. Seolah jika ia menyalahi program 
waktu itu, hidupnya terancam. Ia terancam tidak bisa 
membayar sewa rumah, terancam tidak bisa makan, 
terancam tidak bisa membayar uang kuliah, dan 
terancam tidak bisa menata hidup lebih layak di masa 
depan. Ia selalu berusaha menyembuhkan kelelahannya 
dengan menghibur diri: inilah proses merubah takdir. 

Kata-kata yang selalu ia gumamkan saat didera 
keletihan itulah yang menguatkannya. Ia merasa sejak 
kecil ditakdirkan untuk menderita. Namun ia merasa 
Allah tetap menyayanginya. Ia yakin Allah telah 
menyiapkan banyak jalan dan sebab untuk merubah 
takdir. Ia yakin dengan usaha yang gigih Allah akan 
merubah takdirnya. Itulah yang menguatkan dirinya. 
Namun seringkali ia berpikir, apakah dirinya telah tepat 
mengambil jalan dan sebab dalam mengubah takdir. 



Uziek Collections


Sejak lulus SMA di Sayung Demak, ia telah berusaha 
keras. Merantau ke Semarang, membanting tulang di 
Semarang. Sambil bekerja apa saja di Semarang ia 
berusaha tetap kuliah. Akhirnya selesai juga S.l-nya. Ia 
meraih gelar S.Pd. dari IKIP PGRI. Namun meraih gelar 
S.Pd. ia rasakan belum juga merubah nasibnya. Ia tetap 
harus bekerja sebagai penjaga parkir di Pasar Johar jika 
ingin tetap bisa makan. Ia bekerja bersama mereka yang 
bahkan hanya lulus SD. Ia bahkan sering dijadikan 
bahan olok-olokan oleh teman-temannya, "Kalau hanya 
jadi tukang parkir ngapain kuliah sampai sarjana." 

Ya ia sarjana, tetapi bosnya hanyalah lulusan SD. 
Ia lalu berpikir untuk hijrah. Pindah. Mencoba 
peruntungan baru. Hijrah dari satu takdir ke takdir yang 
ia anggap lebih baik. Ia nekat ke Jakarta.Di Jakarta ia 
merasa tidak mendapatkan apa yang ia cari. Sama saja. 
Ia masih tetap menjadi buruh kasar. Ia merasa tak ada 
gunanya ia kuliah. Hanya empat bulan ia bertahan di 
Jakarta. Ia lalu nekat merantau ke Batam. Banyak yang 
bercerita Batam adalah cara cepat merubah nasib. Di 
Batam banyak pekerjaan dan banyak uang. Di Batam ia 
merasa menemukan takdir yang tak jauh berbeda. 
Namun ia merasa harus bersyukur, di Batam ia bertemu 
dengan seorang sosok yang tulus. Namanya Pak Hasan. 
Dialah orang yang mengarahkannya merantau ke negeri 
Jiran ini dan menyemangatinya untuk menuntut ilmu 
yang lebih tinggi. 

"Kamu masih muda, seberangilah lautan ini. Dan 
tuntutlah ilmu ke jenjang yang lebih tinggi di sana. 
Hanya dengan ilmulah seseorang akan lebih mudah 
memperbaiki nasibnya. Jangan kuatir, Allah akan 
membukakan pintu rahmat-Nya untukmu. Di sana, asal 
adik gigih dan terus ingat Allah, kamu akan tetap survive. 
Percayalah kamu akan sukses. Percayalah dengan ilmu 
derajatmu akan diangkat oleh Allah! Dan dalam setiap 
langkahmu, berpegangteguhlah kamu pada Al-Quran, 
niscaya kamu akan sukses!" Begit kata Pak Hasan 
padanya waktu itu, seraya memberikan mushaf kecil Al-
Quran. 
 


Uziek Collections

Ia merasa tak boleh berhenti untuk merubah nasib. 
Ia harus terus berusaha. Dan dengan modal seadanya, 
dengan nekat yang disertai sebuah tekad ia merantau ke 
negeri Jiran ini. Dengan berdarah-darah ia akhirnya bisa 
tetap hidup dan bisa kuliah pascasarjana. Dan kini ia 
sudah diambang pintu kelulusan. Tak lama lagi ia akan 
menyandang gelar M.Ed, atau Master of Education 
dalam bidang Sosiologi Pendidikan. Gelar yang keren. 
Di desanya, ia mungkin satu-satunya orang yang meraih 
gelar M.Ed, dari sebuah universitas terkemuka di luar 
negeri. Menyadari kenyataan itu bukannya ia bangga, 
justru dadanya kini sesak. 

Ia memang bahagia lantaran ia akan segera lulus S.2. 
Keseriusannya memfokuskan diri pada kuliah dan 
kerja—usai membaca berita tentang penangkapan Siti 
Martini dan kawan-kawannya—telah menampakkan 
hasil. Ia hanya perlu waktu empat semester saja untuk 
menyelesaikan S.2-nya. Satu bulan lagi, begitu tesisnya 
ia perbaiki bisa dikatakan ia telah berhasil meraih gelar 
master. 

Namun ia merasa ada yang menyesak di dadanya. 
Ia merasa masih juga hidup dengan cara bertahan dengan 
kekuatan otot. Ilmu Sosiologi Pendidikannya ia rasakan 
belum juga bermanfaat baginya. Yang paling akrab 
dengannya masih juga kerja-kerja yang mengandalkan 
otot. Belum kerja profesional yang mengandalkan otak. 
Jika ia hitung, rata-rata ia harus bekerja dua belas jam 
setiap hari. Dan ia harus menempuh jarak tak kurang 
dari dua puluh kilo setiap hari. Selesai kuliah setiap 
malam ia harus tiba di Jamaliah Cafe tepat jam sembilan 
malam dan pulang jam dua malam. Di antara sekian 
pelayan restoran hanya dia seorang yang calon master. 
Rata-rata mereka hanya tamat SMA. Sedangkan sang 
pemilik restoran hanya lulusan D2 dari sebuah institut 
tidak terkenal di Shah Alam. 

Ia bertanya pada diri sendiri, apakah jika ia 
melanjutkan Program Ph.D., ia juga akan tetap seperti 
ini. Bertahan dengan cara seperti ini. Bahkan ketika telah 
meraih gelar Ph.D. juga akan tetap bertahan hidup 
dengan cara seperti ini. Dan jika ia pulang ke Indonesia 



Uziek Collections

dengan gelar doktor, akankah ia tetap akan bekerja 
sebagai kuli panggul di pabrik atau kerja otot lainnya? 

Atau, ia justru akan masuk dalam daftar panjang 
para pengangguran yang hidup tak mau mati pun 
segan? Ia teringat kata-kata Doktor Nyatman, salah satu 
putra terbaik Indonesia yang kini bekerja di sebuah 
perusahaan farmasi di Selangor, 

"Di Indonesia, doktor yang menganggur sudah mulai 
banyak. Bahkan doktor yang memiliki kualifikasi 
keilmuan yang hebat sekalipun. Banyak putera bangsa 
yang berprestasi, bisa menyelesaikan doktor dan 
memiliki prestasi gemilang bertaraf internasional tapi 
sama sekali tidak diapresiasi di Tanah Air. Saya punya 
kenalan seorang doktor lulusan Jepang yang cemerlang 
dan mendapat banyak penghargaan internasional atas 
riset-risetnya yang brilian, namun sama sekali tidak 
dihargai di Indonesia. la melamar ke pelbagai universitas 
negeri di Indonesia dan tak ada satu pun yang menerima. 
Di Indonesia penjilat dan penjahat lebih dihargai daripada 
ilmuwan dan pahlawan." 

Ada nada marah dan pesimis dalam kata-kata Doktor 
Nyatman. la merasakan Doktor Nyatman seolah-olah 
menjaga jarak dari Indonesia. Bahkan seolah-olah sudah 
merasa bukan lagi orang Indonesia. la mengatakan orang 
Indonesia dengan sebutan "mereka", dan menyebut 
pemerintah Indonesia dengan sebutan "pemerintah 
mereka", bukan pemerintah kita. Karena ia hidup di 
Malaysia, apakah ia merasa lebih nyaman menjadi orang 
Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia? 
Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa 
Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya? 
Apakah supaya dirinya takut hidup di Indonesia? 
Ataukah supaya dirinya benar-benar siap menghadapi 
beratnya tantangan hidup di Indonesia? Atau bukan itu 
semua, tapi hanya sebuah ungkapan kejengkelan seorang 
putra bangsa yang disia-siakan oleh bangsanya sendiri, 
sampai ia harus mengais sesuap nasi di negeri orang. 
Padahal gelar doktor dari Jerman telah ia sandang. 
Jawabnya: Allahu a'lam. 
 


Uziek Collections

Yang jelas ia sedang berpikir keras, bagaimana takdir 
hidupnya segera cepat berubah. Ia merasa sudah terlalu 
lama ia bersabar mati-matian berproses untuk membuka 
lembaran hidup yang lebih baik. Yang ia pikirkan apakah 
ia salah mengambil sebab dan jalan yang disiapkan 
Tuhan? Kenapa ada orang yang hanya cukup bekerja 
empat jam saja, di dalam tempat yang nyaman pula, dan 
hajat hidupnya tercukupi semua. Bahkan berlebih dan 
bisa membantu dan menolong sesama. Bangun pagi 
tersenyum, siang tersenyum, malam tersenyum dan tidur 
pun tersenyum. 

Kenapa ada negara yang benar-benar mandiri, bisa 
memakmurkan rakyatnya dan menjaga kehormatan 
bangsanya di mata dunia? Negara itu kecil, tidak memiliki 
kekayaan alam apa-apa. Tapi ia bisa mengendalikan 
negara sekitarnya bahkan memanfaatkannya. Sementara 
itu di sisi lain, ia lihat sendiri—bahkan ia mengalami 
sendiri—ada orang yang nyaris hidupnya ia gunakan 
untuk bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam 
penuh, namun ia tetap juga sengsara. Hidupnya nyaris 
tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar biasa. 

Ah, ia jadi teringat para petani di desanya. Ia teringat 
Kang Darsuki. Betapa luar biasa etos kerjanya. Ia selalu 
bangun jam tiga pagi, jauh sebelum Subuh. Membantu 
menyiapkan dagangan sang isteri untuk dijual ke pasar. 
Saat Subuh tiba ia dan isterinya telah berada di pasar. Ia 
shalat Subuh di pasar. Lalu bergegas pulang, sementara 
sang isteri berjualan hasil ladang di pasar. Setelah 
mengurus anaknya yang masih SD, ia langsung ke 
sawah. Ia biasanya bekerja di sawah sampai jam setengah 
lima sore. Malam harinya ia gunakan untuk bekerja 
membuat kursi. Selain sebagai petani ia juga dikenal 
sebagai seorang pembuat kursi. Namun sampai ia 
meninggal dunia karena penyakit typus akut, rumahnya 
masih berdinding bambu dan beratap seng bekas. Dan 
belum memiliki kamar mandi dan WC yang layak. 
Di mana letak salahnya? 

Kenapa petani Indonesia seolah harus terus miskin, 
sementara petani dari negeri Jiran saja bisa makmur dan 
menyekolahkan anaknya ke London? la lalu teringat 



Uziek Collections

pada dirinya sendiri. Kenapa ia yang sebentar lagi selesai 
master masih saja menggantungkan hidup dari mencuci 
piring di cafe dan restoran, sementara temannya dari 
Pahang yang juga calon master sudah memiliki dua 
perusahaan, dan satu kebun kelapa sawit seluas seribu 
hektar di Sumatera. Ya di Sumatera, Indonesia. Bukan 
di Melaka Malaysia. 

* * * 

"Maaf Bang, boleh saya duduk kat sini?" Suara 
seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia 
memandang ke arah suara. Seorang gadis Melayu berdiri 
di depannya. Tangan kanannya memegang piring berisi 
makanan dan tangan kirinya memegang gelas berisi 
minuman berwarna cokelat. Bisa susu cokelat atau Milo. 
Bisa juga teh tarik. 

"Em...silakan." Jawabnya sambil mengambil tasnya 
dari atas meja dan meletakkannya di atas kursi yang ada 
di samping kanannya. 

Gadis itu langsung meletakkan piring dan gelasnya 
di atas meja. Gadis itu tidak membawa tas. Dengan 
gerakan yang lembut gadis itu duduk lalu makan. Gadis 
itu makan dengan menunduk. Ia tidak mempedulikan 
sama sekali gadis di hadapannya itu. Ia melanjutkan 
melahap nasi dan lauk yang masih tersisa di piringnya. 
Setelah nasinya habis, ia meneguk teh O panasnya teguk 
demi teguk. Ia merasakan kehangatan menjalar ke 
seluruh tubuhnya. Kehangatan itu juga mengaliri syarafsyaraf 
kepalanya. Dan perlahan rasa peningnya 
memudar dan hilang. 

Tanpa terelakkan ia sempat juga memperhatikan 
gadis di depannya, yang sedang lahap makan. Gadis itu 
memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri. Paras wajahnya 
memancarkan pesona khas gadis Melayu. Baju kebaya 
panjang berwarna biru muda membalut tubuhnya. Ia 
tidak memakai jilbab. Rambutnya tergerai sebahu. 
Rambut itu hitam pekat dan berkilau indah. 

Zul merasa ada yang janggal dengan cara makan  


Uziek Collections

gadis itu. Gadis itu makan dengan tangan kirinya. 
Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memegangi 
hand phone yang ia tempelkan ke telinga 
kanannya. Bahkan ketika sudah selesai bicara pun gadis 
itu tetap makan dengan tangan kiri dan tangan kanannya 
dibiarkannya tidak bekerja. Ia merasa harus meluruskan 
kejanggalan itu. 

"Maaf Dik, boleh saya cakap sesuatu," katanya tegas 
pada gadis itu. 
Gadis itu menghentikan makan dan memandang ke 
arahnya. Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan. 
"Adik seorang Muslimah?" 
Gadis itu kembali menganggukkan kepala. 
"Maaf, ini hanya pelurusan kecil saja. Agar makan 
dan minum adik benar-benar barakah, sebaiknya adik 
makan dan minum memakai tangan kanan. Tidak 
memakai tangan kiri. Itu cara minum yang tidak disukai 
Rasulullah Saw. Maaf saya tidak bermaksud apa-apa 
kecuali kebaikan." 

Muka gadis itu sedikit memerah. 
"Terima kasih atas nasihatnya. Tapi kenapa Abang 
pedulikan saya? Apa Abang tidak punya urusan yang 

lebih penting?" 
Agaknya gadis itu tersinggung. 
"Sekali lagi maafkan saya Dik, jika ini mengganggu 

kenyamanan adik. Saya tidak bermaksud apa-apa. 
Hanya entah kenapa saya merasa hati ini tidak bisa diam 
setiap kali melihat ada sesuatu yang kurang pas. Sekali 
lagi maafkan saya, saya hanya ingin cara makan adik 
sesuai dengan sunnah Rasul. Itu saja. Tak ada maksud 
lain. Itu pun kalau adik berkenan." 

Zul bangkit dari kursinya dan bergegas ke sepeda 
motornya yang terparkir tak jauh dari tempat makan. 
la sama sekali tidak mempedulikan reaksi gadis itu. Yang 
ada dalam benaknya adalah segera sampai rumah. 
Istirahat sebentar. Mandi. Menunggu Maghrib. Dan 
selepas shalat Maghrib kembali memperbaiki tesisnya. 
Malam nanti ia akan kerja lembur untuk tesisnya. la telah 



Uziek Collections

ijin tidak kerja di Cafe Jamalia. 

Dengan tenang Zul menaiki motor bututnya, dan 
melenggang meninggalkan kantin kolej 12. Ia sama sekali 
tidak menyadari bahwa gadis Melayu itu terus memperhatikan 
dirinya sampai ia hilang dari pandangan gadis 
itu. 

* * * 
Sebelas 

Waktu terus berjalan, menghasilkan pergantian jam. 
Menghasilkan siang dan malam. Menghasilkan sejarah 
kehidupan dan kematian. Sejarah orang-orang yang gagal 
dan sejarah orang-orang yang berhasil. Sejarah orang-orang 
yang malang dan sejarah orang-orang yang beruntung. 

Waktu terus berjalan. Setiap detik selalu ada 
perubahan. Ya, waktu terus berjalan tanpa henti. 

Zul termenung di kamarnya memikirkan waktu 
yang ia lalui dan perubahan-perubahan yang ia alami. 
Alangkah cepat waktu berjalan. Dan alangkah cepat 
umur berkurang. Ia merasa seperti baru kemarin ia lulus 
SD, terus SMP, terus SMA. Kenangan-kenangan saat di 
SMA terbayang di depan mata. Ia seolah ada di dalamnya. 
Perubahan terasa sangat cepat. Ia menyadari bahwa ia 
ternyata sudah dua tahun lebih di Malaysia. Ia sudah 
selesai S.2. 

Sepertinya baru kemarin ia masuk flat itu diantar oleh 
Pak Rusli. Lalu berkenalan dengan Sugeng, Yahya, Arif, 
Rizal dan Pak Muslim. Sekarang mereka sudah tidak ada 
lagi di flat itu bersamanya. Sugeng sudah selesai setengah 
tahun yang lalu dan kini mengajar di STAIN Kendari. 
Yahya sedang menempuh program Ph.D., ia kini tinggal 
di Sigambut bersama isterinya. Arif sudah selesai 
masternya dan kini bekerja di sebuah Bank Syariah di 
Semarang. Rizal juga sudah selesai, ia mendirikan 
penerbitan di Bandung. Pak Muslim sudah menyelesaikan 
doktornya dan telah kembali mengajar di UNY. 

Orang yang dulu satu rumah dengannya telah  


Uziek Collections

meninggalkannya. Kini ia tinggal bersama adik-adik 
yang lebih muda yang baru datang. Tak terasa. Ia sudah 
mulai merasa semakin tua. Umurnya sudah mendekati 
kepala tiga. Sugeng, Yahya, Arif dan Rizal semuanya 
sudah berkeluarga. Hanya dirinya yang belum. Semua 
sudah mengamalkan dan membagi ilmunya. Hanya ia 
seorang yang ia rasa belum. Ia masih saja seperti dulu. 
Bekerja di cafe dan restoran. Ia masih memikirkan 
tentang nasibnya yang ia rasa belum mengalami 
perubahan. Ia gelisah. Akan ia bawa ke mana gelar M.Ed.nya? 
Apakah hanya untuk memperpanjang namanya 
saja. Biar tampak ada gelar di belakangnya? 

Hari itu jam tiga siang ia merasa harus silaturrahmi 
ke rumah Yahya. Ia ingin mendiskusikan kegelisahannya. 
Ia harus mengakui terkadang ia merasa sangat jauh dari 
dewasa. Ia merasa belum bisa berpikir tenang dan jauh 
ke depan seperti Yahya. Ia juga sering bertanya pada 
dirinya sendiri apakah kegelisahannya seperti itu 
termasuk tanda-tanda tidak menyukuri nikmat Tuhan? 
Bukankah Tuhan telah banyak merubah dirinya. Dari 
orang jalanan yang terbuang dari kota ke kota menjadi 
orang yang hidup tenang. Dari orang yang pernah nyaris 
binasa karena dibelenggu oleh syahwat cinta menjadi 
orang yang merdeka. 

Ketika ia sampai di rumah Yahya ia langsung 
menyampaikan kegelisahannya. Yahya menjawab, 

"Bersabar dan bersyukurlah Saudaraku. Jangan 
tergesa-gesa. Tetaplah sabar dan istiqamah dalam 
berusaha. Syukurilah apa pun karunia yang dilimpahkan 
oleh Allah. Jangan kau mendikte Allah. Jangan kau 
berprasangka buruk pada Allah. Allah-lah yang 
Mahatahu yang terbaik untuk kita. Apa yang menurut 
kita baik belum tentu baik menurut Allah. Dan apa yang 
menurut kita tidak baik belum tentu tidak baik menurut 
Allah. Apa yang kita sukai belum tentu itu baik bagi kita. 
Dan apa yang kita benci belum tentu tidak baik bagi 
kita. 

"Bisa jadi, sampai saat ini kau masih bekerja di cafe, 
karena itu memang yang terbaik. Bisa jadi setelah itu 



Uziek Collections

akan ada hikmah yang luar biasa bagimu. Yang paling 
penting bersabar dan bersyukurlah. Optimislah. Dan 
berprasangka baiklah kepada Allah." 

Zul merenungkan perkataan sahabatnya itu. 
Yahya mempersilakannya untuk mencicipi agar-agar 
buatan isterinya. Zul mengambil satu dan memuji,
"Agaragarnya 
enak." 
Spontan Yahya menjawab, "Makanya segera 
menikah, biar ada yang membuatkan agar-agar." 
"Kalau kau ada calon untukku boleh Ya. Aku merasa 
sudah tiba saatnya. Orang satu rumah kita dulu sudah 
menikah semua. Hanya aku saja yang belum." 
"Kau serius Zul." 
"Serius." 
"Kalau orang Malaysia bagaimana?" 
"Kalau salehah kenapa tidak?" 
"Ini serius lho Zul." 
"Ya pasti seriuslah Ya. Masak aku main-main." 
"Baik. Ini ada calon. Orangnya baik. Aku berani 

jamin. Dulu dia teman isteriku waktu kuliah di 
Birmingham. Dia Muslimah yang taat. Tidak pernah 
menanggalkan jilbab. Bagaimana?" 

"Boleh saja. Cuma aku kuatir kalau aku mau dan 
dianya tidak mau." 
"Bagaimana kalau sebaliknya. Ternyata dianya mau 
malah kau yang tidak mau." 

"Kayaknya itu kemungkinan kecil Zul. Kalau kau 
sudah berani menjamin baik, masak sih aku tidak mau. 
Siapa namanya kalau boleh tahu?" 

"Laila Abdurrahman." 

"Kau mau ta'aruf serius dengannya Zul." 

"Wualah tho Ya, Yahya. Berapa kali lagi kau akan 
tanya tentang keseriusanku. Baiklah, aku serius Ya." 

"Kalau begitu kau besok datanglah ke masjid kampus  


Uziek Collections

UKM15 Bangi jam 3 sore. Kau akan aku temukan 
dengannya insya Allah." 

"Baik." 

* * * 

Hari berikutnya Zul berangkat ke Bangi naik KTM 
dari Pantai Dalam sampai UKM lalu naik bus mini 
kuning ke masjid kampus UKM. Yahya ternyata sudah 
menunggu di masjid. Begitu ia sampai ia langsung diajak 
ke Fakulti Ekonomi. Ia dibawa ke auditorium. Di sana 
ada seminar membahas dua judul proposal disertasi 
doktor. Dua orang mahasiswa program doktor dari 
Malaysia mempresentasikan judul proposal disertasi 
mereka di hadapan dosen dan guru besar. 

Zul dan Yahya duduk agak di belakang. Satu per 
satu kandidat doktor itu mempresentasikan kajiannya. 
Ada empat profesor yang menilai dan mengkritisi. Di 
antara empat profesor itu ada profesor madya perempuan 
yang tampak masih muda dan cantik. Dialah yang 
menjadi artis di ruangan itu. Zul diam-diam tersihir oleh 
keanggunan dan kecerdasan profesor itu. 

"Ya, perempuan Malaysia ada yang hebat juga ya. 
Itu yang di depan itu. Masih muda sudah profesor madya. 
Canggih betul." 

" Kau tahu itu siapa?" 

15 Universiti Kebangsaan Malaysia. 

"Siapa Ya?" 
"Itulah orang yang akan aku kenalkan denganmu." 
Zul kaget bagai disambar petir. 
"Weh, yang benar Zul. Kau jangan bercanda Zul. 


Masak jauh-jauh datang kemari hanya untuk bercanda?" 
"Aku tidak bercanda Zul. Aku serius. Dia itu namanya 
Prof. Madya Datin Laila Abdul Majid, Ph.D. Dia 
menyelesaikan S.2 dan S.3-nya di Birmingham. Satu 



Uziek Collections

kelas dengan isteriku saat S.2. Hanya saja isteriku pulang 
ke Indonesia setelah selesai S.2-nya, sedangkan dia 
langsung lanjut S.3. Kata isteriku, ketika di Birmingham 
dia termasuk mahasiswi yang disanjung banyak dosen 
karena kecerdasannya. Itulah kelebihan yang dia miliki. 
Bagaimana Zul, mau dilanjutkan apa tidak? Terus terang 
aku tidak bilang apa-apa padanya. Kalau mau nanti kita 

datangi dia dan kita ngobrol santai saja. Bagaimana?" 
"Lanjut Ya." 
"Okay, kau juga harus tahu kekurangannya, kalau 

ini dibilang kekurangan, dia itu sudah janda. Sudah 
pernah mau punya anak tapi keguguran. Dia janda 
karena suaminya meninggal dunia. Bagaimana Zul? 
Dilanjutkan apa tidak?" 

Zul berpikir sejenak. Lalu menjawab, 
"Dilanjutkan." 
"Baik." Jawab Yahya sambil tersenyum. 
Setelah seminar selesai Yahya bangkit. Isteri Yahya 


ternyata juga ada di ruangan itu. Isteri Yahya menyalami 
Prof. Datin Laila. Keduanya berangkulan mesra. Lalu 
Yahya menyapa seraya memperkenalkan Zul. Mereka 
berempat lalu berbincang-bincang sambil berdiri 
beberapa saat. Prof. Darin Laila sangat ramah dan murah 
senyum. Zul terpesona dengan aura kemelayuannya. 

Mereka berbincang tidak lama, sebab waktu shalat 
Ashar tiba. Prof. Datin Laila minta diri ke ruangannya. 
Yahya dan isterinya serta Zul bergegas ke masjid dengan 
mobil Yahya. Di perjalanan isteri Yahya menjelaskan 
bahwa Laila adalah teman akrabnya saat di Birmingham. 
Beberapa bulan lalu Laila meminta padanya 
kalau punya calon yang sesuai untuknya. Orang 
Indonesia tidak apa-apa. Hari itu Zul seperti mimpi. la 
seperti tidak percaya kalau calon yang dikenalkan 
dengannya adalah seorang Datin Laila yang ia rasakan 
lebih dari seorang bidadari. 

"Tapi Datin Laila belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu  


Uziek Collections

kalau ada orang Indonesia yang melihatnya dan berniat 
ta'aruf dengannya. Besok baru aku akan jelaskan 
padanya. Apa kira-kira reaksi dan tanggapan dia. Semoga 
seperti yang kita harapkan. Kalau melihat suami dia 
dahulu juga dari kalangan orang biasa. Bukan dari 
kalanganbangsawan," kata isteri Yahya. 

"Insya Allah, kalau ini jodohmu tidak akan lari ke 
mana-mana Zul." Sambung Yahya. 
Zul mengamini dalam hari berharap semoga surga 
itu telah ia rasakan di dunia. 

Setelah shalat Ashar mereka pulang meninggalkan 
kampus UKM. Yahya dan isterinya membawa mobil. Zul 
naik bus kuning. Yahya menawarkan padanya untuk 
satu mobil, tapi Zul ingin berkunjung ke rumah seorang 
kenalannya bernama Ardan di Hentian Kajang. 

Zul naik bus mini kuning ke Hentian Kajang. 
Ongkosnya cuma tujuh puluh sen. Sepuluh menit 
kemudian bus itu sudah sampai di Hentian Kajang. Zul 
berjalan ke kanan menuju tempat duduk para penumpang. 
Ketika ia melewati tempat itu, sekonyong-konyong 
ada seorang wanita berjilbab yang memanggilnya dengan 
keras. 

"Zul! Mas Zul!" 

Ia menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. 
Seorang wanita berjilbab dengan wajah gembira 
melangkah ke arahnya. Ia mengamati dengan seksama, 
mencoba mengingat-ingat. 

"Lupa ya sama saya? Pasti lupa?" kata wanita itu 
sambil tersenyum. 
"Siapa ya? Agak lupa-lupa, ingat," jawab Zul. 
"Sudah terlalu sibuk dan sudah lama sekali tidak 
bertemu jadi kau lupa. Sangat wajar. Apalagi penampilan 
saya dulu dengan sekarang berbeda. Pasti kau susah 
menerka." 

"Aduh langsung saja. Siapa ya?" katanya sambil 
melihat jam. Ia memang tidak punya waktu terlalu 



Uziek Collections

longgar untuk hal yang kurang penting. 

"Baik Mas. Saya Sumi Mas. Saya Sumiyati. Kita dulu 
ketemu di Subang Jaya. Ingat? Saya dulu tidak jilbaban 
seperti sekarang." 

Seketika Zul terkaget dan langsung tersenyum 
bahagia. 
"O Mbak Sumi. Ya Allah, saya benar-benar susah 
mengingat-ingat tadi. Saya sepertinya pernah bertemu. 

Tapi di mana saya tak ada bayangan. Iya Mbak benarbenar 
beda setelah pakai Jilbab. Tambah anggun." 
Sumi tersenyum mendengar pujian. 
"Alhamdulillah Mas. Saya bahagia berjalan dalam 
hidayah ini." 

"O ya Mbak cerita teman-teman yang lain bagaimana 
ya? Saya pernah ke sana ternyata kalian sudah 
tidak di sana?" Zul pura-pura bertanya tidak tahu. la 
tidak bisa melupakan berita koran tentang penangkapan 
penghuni rumah itu. 

"Mas belum tahu beritanya ya?" 

"Berita yang mana?" 

"Ah baiklah. Aku ceritakan biar nanti kalau suatu saat 
Mas dengar berita itu tidak salah faham. Begini Mas. 
Kami pergi tepatnya terusir dari rumah itu ada sebabnya. 
Sebabnya adalah ulah Linda dan Watik yang keterlaluan. 
Maksiatnya sudah terang-terangan. Aku yakin kau tahu 
apa pekerjaan Linda. Melacurkan diri. Biasanya ia 
dijemput dan berbuat maksiat itu di hotel. Kami 
mengingatkan tidak mempan. Mbak Mari sering 
bertengkar dengannya. Apalagi setelah kejadian Mbak 
Mari mau diperkosa sama mantan suaminya. Mbak Mari 
curiga Lindalah yang memberitahu keberadaan dirinya 
pada mantan suaminya. Linda semakin nekat seolah 
menantang penghuni rumah yang lain. Ia maksiat di 
kamarnya. Beberapa teman lelaki Linda datang ke 
rumah. Hal itu dicium oleh masyarakat. Akhirnya rumah 
itu digrebek. Kami semua dianggap pelacur semua.  


Uziek Collections

Padahal pelacurnya cuma Linda sama Watik. Kami 
diinterogasi habis-habisan. Kami difoto dan masuk koran. 

Yang paling sabar dan tabah menghadapi ujian ini adalah 
Mbak Mari. Mbak Mari berusaha sekuat tenaga berdialog 
dan menjelaskan bahwa tidak semua yang ditangkap 
adalah pelacur. Akhirnya Mbak Mari bisa menelpon 
seorang kenalannya. la anak seorang pejabat penting. 
Dengan jaminan temannya Mbak Mari, kami, selain 
Linda dan Watik dibebaskan. Sejak itu saya memakai 
jilbab. Saya ingin lebih berarti menjalani hidup ini. Begitu 
ceritanya Mas." 

Zul mengucapkan syukur berkali-kali dalam hati 
mendengar penjelasan itu. la merasa berdosa telah 
berprasangka buruk pada semua penghuni rumah, 
termasuk pada Mari dan Sumi. Sekarang ia tahu Mari 
bersih. Ia jadi tidak sabar untuk menanyakan keberadaan 
Mari. Walau bagaimanapun nama itu pernah tertanam 
dalam hatinya. 

"Lha Mbak Mari sekarang di mana?" 
"Dia sudah di Indonesia." 
"Ada alamarnya?" 
"Sayang tidak ada. Buku catatanku yang ada alamat 
dan kontak Mbak Mari hilang di bus. Mungkin jatuh. 
Saya dengar dia sekarang hidup di Semarang." 
"Mmm di Semarang. Dia sudah menikah?" 
"Saya juga tidak tahu. Tapi dia pernah ngobrol 
dengan saya. Maaf lho Mas Zul ya kalau tidak berkenan. 
Ia pernah cerita kalau dia diam-diam suka sama Mas 
Zul." 

Seperti ada setetes embun membasahi hatinya. Wajah 
Mari hadir dalam pikirannya. Kenangan lama perlahan 
muncul ke permukaan. Tapi cepat-cepat ia tepis kuatkuat. 
Ia tidak boleh menghadirkan kenangan itu. Ia telah 
siap berta'aruf dengan Datin Laila. 

"Maaf Mas bus saya sudah datang, saya harus pergi. 
Say a sekarang tinggal di sekitar sini. Mari Mas. Sukses 
ya." Sumi minta diri. 




Uziek Collections

Zul terpaku di tempatnya beberapa saat lamanya. 
Kemudian ia teringat hari sudah sore. Ia harus sudah ada 
di Pantai Dalam sebelum Maghrib. Keinginannya untuk 
menemui Ardan terpaksa ia urungkan. Ia langsung 
bergegas mencari bus ke KL Sentral. Dari KL Sentral ia 
akan nyambung dengan KTM. 

* * * 

Hari berikutnya, pagi-pagi sekali Yahya datang ke 
Pantai Dalam. Yahya menyampaikan hasil komunikasi 
antara isterinya dan Datin Laila. Zul tidak sabar 
menunggu berita gembira itu. 

"Bagaimana, sesuai harapan?" tanya Zul. 

"Pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak 

masalah...." jawab Yahya tenang. 
"Alhamdulillah," potong Zul. 
"E dengarkan dulu sampai aku selesai bicara!" 
"O masih ada lanjutannya tho. Apa lanjutannya?" 
"Ya pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak 

ada masalah. Yang jadi masalah adalah kakak sulungnya, 
yang sekarang jadi walinya telah membawa seorang 
calon untuknya. Datin Laila belum mengambil keputusan. 
Tapi agaknya Datin Laila merasa berat jika harus 
berseberangan dengan kakak sulungnya." 

"Artinya ia cenderung mengiyakan calon dari 
kakaknya kan?" 

"Begitulah.". 

Zul menunduk kecewa. 

"Kenapa dalam masalah seperti ini aku selalu menuai 
kecewa ya. Dulu mau serius menikahi Mari tak jadi. Apa 
ya dosaku ini?" 

"Lha mulai berprasangka tidak baik pada Yang 
Mahakuasa! Sabarlah Zul. Selain membawa kabar  


Uziek Collections

menyedihkan itu aku juga membawa kabar menggembirakan 
untukmu." 

'Apa itu Ya?" 
"Aku kemarin dibel Pak Muslim. Di UNY ada 
lowongan dosen. Yang dicari S.2 jurusan Psikologi 
Pendidikan dan jurusan Sosiologi Pendidikan. Ini 
mungkin rejekimu. Coba kau masukkan lamaran ke 
sana." 
"Wah boleh ini Ya." Zul semangat. 
"Caranya bagaimana Ya?" 
"Sebaiknya kau pulang ke Indonesia. Masukkan 
langsung lamaranmu ke UNY. Sekalian bersilaturrahmi 
ke rumah Pak Muslim. Siapa tahu Pak Muslim juga 
mencarikan jodoh untukmu. Mahasiswinya yang jilbaberjilbaber 
kan banyak." 

"Wah saranmu brilian sekali Ya. Dunia ini sejatinya 
luas ya Ya. Wanita di dunia ini pun miliaran jumlahnya. 
Tidak cuma Mari atau Laila ya." 

"Lha iya lah." 

"Kenapa aku baru menyadarinya sekarang ya." 
"Karena kamu selalu menyempitkan ruang berpikirmu 
selama ini Zul. Cobalah kau buka lebar-lebar. 
Hidup ini akan terasa mudah, menyenangkan, dan 
menggairahkan." 
"Ya sudah saatnya aku meluaskan ruang hati dan 
pikiran Ya." 
"Di antara caranya adalah dengan selalu berprasangka 
baik kepada Allah." 

"Terima kasih Ya. Bisa bantu aku lagi?" 
"Apaitu?" 
"Pinjami uang untuk beli tiket pesawat," kata Zul 
tersenyum. 
"Tentu bisa." 
"Kau memang sebaik-baik teman Ya." 
"Kau juga Zul" 
"Alhamdulillah." 

* * * 



Uziek Collections

 


Uziek Collections

Dua Belas 


Tiga hari kemudian, Zul terbang ke Yogyakarta. Di 
Bandara Adi Sucipto ia dijemput oleh Pak Muslim. Begitu 
bertemu mereka berangkulan erat sekali. Pak Muslim 
tampak bahagia sekali bertemu dengan Zul, begitu juga 
Zul. Kesahajaan dan kesederhanaan Pak Muslim sama 
sekali tidak berubah, meskipun ia telah menyandang 
gelar doktor. Ia berpakaian biasa, layaknya orang biasa. 
Orang yang tidak mengenal Pak Muslim bisa jadi 
menyangka beliau adalah tukang ojek. Sebab saat itu 
beliau memakai batik warna tua yang tersembunyi 
dalam jaket cokelat yang tampak tua. Warnanya telah 
berubah karena terkena panas dan hujan. 

Pak Muslim menjemput dengan mobil Katana 
tuanya. Beliau langsung membawa Zul ke rumahnya di 
sebuah perumahan di daerah Maguwoharjo. 

"Rumah ini masih menyewa Zul," kata Pak Muslim 
begitu sampai di rumahnya. "Doakan tahun depan ada 
rejeki untuk membeli rumah. Meskipun dengan 
mengangsur," lanjutnya. 

"Semoga Pak." 
"Ayo masuk. Kita cuma berdua di rumah ini. Isteriku 
sedang tugas ke Semarang. Dua anakku sedang di rumah 
eyangnya di Solo." 
Begitu masuk Pak Muslim langsung ke dapur 
membuatkan minuman. 
"Adanya ini Zul." Kata Pak Muslim sambil membawa dua gelas
berisi air sirup berwarna hijau. 
"Nyaman hidup di Jogja Pak ya?" tanya Zul. 
"Nyaman dan tidaknya hidup itu yang mengkondisikan adalah
hati 
dan pikiran kok Zul. Kalau aku 
di mana saja merasa nyaman. Aku tak pernah kuatir atau 
takut sebab aku yakin Allah mengasihiku." 

"O ya Pak tentang lowongan itu. Ada berapa kursi? 
Kira-kira yang daftar banyak tidak?" 




Uziek Collections

"Cuma enam kursi saja. Secara keseluruhan, yang 
daftar mungkin puluhan, ratusan, bahkan mungkin 
ribuan. Saya tidak tahu persis. Tentang peluangmu, ya 
yakin saja ini adalah rejekimu. Tapi untuk Sosiologi 
Pendidikan, saya lihat yang daftar sampai kemarin 
belum terlalu banyak, kira-kira baru belasan orang. 
Peluangmu mungkin bagus. Apalagi hanya kau yang 
meraih M.Ed, dari luar negeri." 

"Doanya Pak." 

"Semoga. Syarat-syarat sudah lengkap semua?" 

"Yang belum foto Pak." 

"Nanti foto kilat saja. Supaya besok berkas kamu bisa 
dimasukkan." 
"Iya Pak." 
"O iya Zul. Kamu tidak ada rencana nikah? Atau 

masih mengharap yang di Subang Jaya?" 
"Aduh jadi malu. Jangan diingat-ingat Pak. Tapi 
penggerebekan di Subang Jaya seperti yang tertulis di 
koran itu ternyata tidak seperti itu lho Pak. Saya jadi 
merasa berdosa karena berburuk sangka pada semua isi 
rumah itu." 
"Terus sebenarnya bagaimana?" 
Zul lalu menceritakan pertemuannya dengan Sumi 
di Hentian Kajang. Dengan detil dan panjang lebar Zul 
menjelaskan apa yang ia dapat dari Sumi. Pak Muslim 
mengangguk-angguk. 

"Hmm saya juga berburuk sangka lho Zul. Jika tidak 
kauberitahu mungkin selamanya dalam pikiran saya 
yang ada ya persepsi itu. Persepsi satu rumah itu pelacur 
semua. Kan kasihan mereka yang tidak berdosa. Ini jadi 
pelajaran penting bagiku Zul. Kabar apa pun saat ini, di 
akhir zaman ini harus dicek. Berita saat ini sepertinya 
kok lebih banyak bohongnya, lebih banyak munafiknya 
daripada jujurnya." 

"Ya alhamdulillah, Allah mempertemukan saya 
dengan Sumi Pak."  


Uziek Collections


"Terus tentang nikah. Jadi setelah tahu kabar itu apa 
masih mau mengejar si Siti Martini itu? Atau bagai
mana?" 

"Aduh Pak itu masa lalu. Sudah biarlah berlalu Pak. 
Dunia ini kan luas. Jumlah wanita di atas muka bumi ini 
miliaran Pak. Gadis Muslimah yang belum menikah jumlahnya 
jutaan Pak, kenapa saya mesti mempersusah diri." 

"Wah kamu sudah berubah Zul. Tapi ada satu 
sifatmu yang aku sangat salut. Dan aku berharap sifat 
itu tidak pernah berubah apalagi hilang dari dirimu." 

"Apa itu Pak?" 
"Jujur dan tidak mengada-ada. Itu yang aku suka 
padamu. Jujur itulah sifat yang mutlak harus dimiliki 
seorang pendidik di negeri ini. Karena kejujuran sekarang 

ini jadi barang yang sangat langka Zul." 
"Doakan saya bisa terus istiqamah Pak." 
"Semoga Zul. O ya kembali tentang nikah. Muslimah seperti
apa 
yang sekarang kauinginkan. Mungkin 
aku bisa membantu. Tidak hanya membantumu tapi juga 
membantu kaum Muslimah yang ingin menikah tapi 
belum menemukan jodoh. Siapa tahu di antara mereka 
ada yang sesuai untukmu." 

"Yang salehah dan jujur Pak. Ah Pak Muslim kan 
sudah pernah tinggal bersama saya lebih dari satu tahun. 
Pasti Pak Muslim tahu yang cocok buat saya." 

"Ini Zul. Ada Muslimah baik sekali. Ini menurut isteri 
saya. Sebab Muslimah ini kenal baik dengan isteri saya. 

Pernah satu kampus di Bandung dulu. Dia sokarang kalau 
tidak salah dosen di Universitas Semarang. Baru 
menyelesaikan Master Ekonominya di UKM Malaysia." 

"Umurnya berapa?" 

"Ya seumuran isteri saya." 



Uziek Collections


"Kalau seumuran isteri Bapak, berarti sudah tua 
dongPak." 
"Ei jangan salah. Kau tahu berapa umur isteri Baya?" 
"Berapa Pak?" 
"Dua puluh delapan tahun. Kau umurmu berapa?" 
"Tigapuluh." 
"Berarti kira-kira dia lebih muda dua tahun darimu. 

Bagaimana?" 
"Boleh Pak." 
"Kalau boleh tahu. Dia berjilbab Pak?" 
"Kamu ini Zul. Isteri saya ini aktivis dakwah, masak 
mau mencarikan kamu yang suka tabarruj. Ya pasti 
berjilbab rapat-lah Zul." 
"Kalau begitu boleh Pak. Boleh tahu namanya Pak?" 

"Namanya agak panjang Zul. Tapi seingat saya 
depannya Agustina. Isteri saya kalau memanggil dia 
Mbak Agustin begitu. Tapi nama penanya kalau dia nulis 
di koran Asma Maulida, M.Ec. Sebentar aku cari koran 
dulu. Ada beberapa tulisan dia yang bagus kok." 

Pak Muslim beranjak menuju rak tempat majalah 
dan koran tertumpuk. la mengolak-alik beberapa koran 
sesaat lamanya. 

"Lha ini dia." Seru Pak Muslim gembira. 

"Ini Zul tulisan dia coba kaubaca." Pak Muslim 

menyodorkan koran itu pada Zul. 

Zul membaca dengan seksama. Runtut, rapi dan 

argumentatif. Bahasanya enak dibaca. 

"Baguskan?" 

"lya Pak?" 

"Rapi dan runtut kan?" 
 


Uziek Collections

"Iya." 

"Itulah cermin kepribadiannya. Saya pernah 
bertemu dengannya. Saya salut. Sangat berkarakter 
orangnya. Kira-kira bagaimana Zul?" 

"Saya manut Pak Muslim saja." 
"Baik. Mumpung isteri saya ada di Semarang. Biar 
dia urus sekalian. Saya telpon isteri saya sekarang saja." 
Pak Muslim mengeluarkan hand phone-nya dan 
memanggil isterinya. Langsung nyambung. 
Zul hanya mendengar suara Pak Muslim: 
"O jadi malah sedang bincang-bincang sama dia?" 
"Di mana Dik, di Warung Bentuman?" 
"Dia belum ada calon kan?" 
"Ini, temanku satu rumah yang pernah kuceritakan 
dulu itu lho Dik." 
"Ya, sudah selesai M.Ed dari Universiti Malaya." 
"Namanya Ahmad Zulhadi Jaelani. Tulis saja A. 

Zulhadi Jaelani, M.Ed." 

Lalu Pak Muslim menarik hand phone-nya dari 
telinga kanannya dan bertanya pada Zul. 

"Zul, tanggal lahirmu berapa?" 

"21 April 1977 Pak." Jawab Zul. 

Pak Muslim lalu menyampaikan hal itu pada 
isterinya. Tak lama kemudian beliau menyudahi 
pembicaraannya. Lalu kembali berbicara pada Zul. 
"Namanya juga ikhtiar. Ya semoga saja ini berhasil." 
"Jadi Agustin itu masih belum punya calon Pak?" 

"Ya kata isteri saya begitu. Dia berharap proses kali 
ini adalah prosesnya yang terakhir. Proses yang 
mengantarkannya memiliki rumah tangga yang 
mawaddah wa rahmah." 

"Amin. O ya Pak, terus terang saja Pak ya. Bapak 
ada foto dia?" 




Uziek Collections

"Wah sayang tidak punya Zul. Tapi jangan kuatir 
Zul. Kata isteri saya, biar prosesnya cepat. Artinya kalau 
iya ya biar segera diijab kalau tidak ya biar cepat 
ketahuan tidaknya, Agustin akan ikut isteri saya ke Jogja." 

"Mau datang ke sini?" 
"Iya. Biar bertemu kamu. Kamu juga biar tidak 
penasaran. Biar itu tadi cepat jelasnya kalau iya ya biar 
segera diijab kalau tidak ya biar cepatketahuan tidaknya. 
Kalau misalnya tidak jadi, karena kau tidak cocok kan 
sama-sama cepat tahunya. Dan bisa mencari yang lain 
yang cocok. Kalian kan sudah berumur. Tidak perlu 
ditunda-tunda atau proses yang rumit dan berbelit-belit 
tho?' 
"Iya Pak sepakat." 
* * * 

Rumah Pak Muslim memiliki tiga kamar. Kamar 
utama, kamar tamu dan kamar anak. Zul ditempatkan 
di kamar tamu yang sekaligus merangkap sebagai 
perpustakaan. Kamar itu penuh buku. Kebanyakan 
buku-buku tentang pendidikan dan ekonomi. Pak 
Muslim adalah pakar manajemen pendidikan. Sementara 
isterinya adalah dosen mata kuliah ekonomi di sebuah 
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Yogyakarta. 

Siang itu setelah selesai memasukkan berkasnya ke 
UNY ia diantar Pak Muslim pulang. Ia memang harus 
istirahat. Sebab sebelumnya ia begadang bersama Pak 
Muslim di sebuah warung angkring sampai larut malam. 
Pak Muslim sendiri juga istirahat di kamarnya. Ia telah 
diberi ijin oleh Pak Muslim kalau mau membaca-baca 
koleksi perpustakaan pribadinya. 

Siang itu ia tidak langsung tidur. Tapi ia melihat-lihat 
buku yang ada di kamar itu. Banyak judul-judul baru 
terbitan Indonesia. Ia senang dengan perkembangan 
penerbitan buku di Indonesia yang semakin marak. Tibatiba 
kedua matanya tertuju pada warna sampul sebuah 
buku yang sepertinya pernah ia lihat. Ia ambil buku 
itu.Buku bersampul biru tua. Terbitan Oxford University 
Press. Judulnya Game Theory with Applications to 
Economics. Rasa-rasanya ia pernah memegang buku itu.  


Uziek Collections

Ia mencoba mengetes ingatannya. Di mana ia pernah 
memegang buku seperti itu. Ia mengingat-ingat tempattempat 
ia bisa mengambil dan membaca buku. Akhirnya 
ia ingat di kamar Mari di Subang Jaya, saat ia pertama 
kali tiba di Malaysia. Ia tersenyum bahagia ingatannya 
masih tajam. 

Ia buka buku itu. Halaman pertama. Dan ia bagai 
tersengat listrik. Nama pemilik buku itu dan tanda 
tangannya sama dengan yang ia baca di Subang Jaya: 
Laila Binti Abdul Majid, TTDL Kuala Lumpur. Pikirannya 
langsung nyambung ke Prof. Datin Laila Abdul Majid. 
Diakah pemilik buku ini? Dan ia yakin buku yang ada 
di tangannya adalah buku yang beberapa tahun lalu ia 
pegang di Subang Jaya. Lalu bagaimana buku itu bisa 
sampai di rumah ini? Puluhan kemungkinan dan 
pertanyaan berkelebat dalam pikirannya. Ia tak mau 
pusing. Ia merasa lelah dan harus istirahat. Masalah buku 
itu bisa ia tanyakan pad a Pak Muslim nanti. 

Lima belas menit sebelum azan Ashar berkumandang 
ia telah bangun. Pak Muslim telah duduk dengan pakaian 
rapi siap ke masjid di ruang tamu. 

"Bagaimana istirahatnya? Enak?" 

" Alhamdulillah. Sudah segar kembali Pak." 

"Berarti sudah siap bertemu Agustin ya?" 

"Jadi malam ini Pak?" 

"Lhaiyalah?" 

"Cepatsekali." 

"Kenapa berlambat-lambat jika bisa cepat." 

"Di mana akan ketemu Pak." 

"Di sini. Nanti habis Maghrib aku akan jempul 
mereka di Pertigaan Janti. Mereka naik bus Ramayana. 
Setelah shalat Isya kita ad akan majelis ta'aruf di sini." 



Uziek Collections


Hati Zul bergetar hebat. Ia tidak pernah menyangka 
akan sangat cepat proses untuk bertemu dengan calon 
isterinya. Pak Muslim meneguk air putih yang ada di 
hadapannya. Zul kembali ke kamarnya untuk bersiap 
dan merapikan pakaiannya. la kembali keluar dari 
kamarnya sambil membawa buku bersampul biru tua 
itu. 

"Dari mana dapat buku bagus ini Pak?" tanya Zul. 
Hatinya penasaran. 

Pak Muslim mengulurkan tangannya. Zul memberikan 
buku itu pada Pak Muslim. Sesaat lamanya Pak 
Muslim mengamati buku itu. 

"Isteri saya yang bawa." 

"Dari mana dia dapat?" 

"Saya tak tahu pasti Zul. Nanti malam saja kita 

tanyakan." 
* * * 

Usai shalat Maghrib Pak Muslim meluncur ke 
Pertigaan Janti dengan Katana tuanya. Zul memilih 
iktikaf di masjid sampai Isya. Sebelum azan Isya 
berkumandang Pak Muslim sudah tiba di masjid dan 
memberitahu Zul bahwa Agustin sudah ada di rumah. 

"Jadi nanti pertemuannya alami saja Zul. Kita pulang 
dari shalat dan mereka sudah menunggu di ruang tamu. 
Kita langsung ngobrol dan bincang-bincang santai saja?" 

"Saya cuma pakai sarung saja begini Pak?" 

"Lha memangnya kenapa? Kalau pakai sarung apa 

terus hilang ketampananmu?" 

"Nggak sih Pak. Nggak apa-apa." 
 


Uziek Collections

"Agustin sekarang aku lihat agak berubah." 

"Berubah bagaimana?" 
"Jadi lebih muda dan segar. Dulu waktu pertama kali 
bertemu bersama isteri di Semarang, ia kurus, agak sayu 

dan tampak lebih tua dari umurnya." 
"Kalau begitu bagus lah Pak." 
"Ya, rejekimu Zul kalau kau punya isteri yang semakin 

tambah umur tapi wajahnya semakin tambah muda." 
"Amin ya Rabb." 
Azan Isya dikumandangkan. Jamaah berdatangan. 

Shalat sunnah didirikan. Lalu iqamat disuarakan. Shafshaf 
dirapikan. Dan sang Imam mengucapkan takbiratul 
ihram. Zul mengikuti takbir Imam dengan hati bergetar. 
Shalat jamaah didirikan dengan penuh kekhusyukan. 
Dalam sujud Zul berdoa agar dilimpahi kebaikan dunia 
dan akhirat, serta diberi pasangan hidup yang menjadi 
penyejuk hati, teman sejati dalam mengarungi hidup 
beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. 

Selesai shalat Pak Muslim dan Zul melangkah pasti 
ke rumah. Semakin dekat dengan rumah hati Zul 
semakin bergetar hebat. Ia akan bertemu dengan Agustin. 
Yang dalam bayangannya akan menyejukkan hatinya. 
Zul sampai di halaman. Pak Muslim melangkah duluan. 
Dari halaman ia bisa melihat dari terawang sela-sela 
gorden, ada dua Muslimah berjilbab yang sedang 
berbincang di ruang tamu. Namun tidak jelas. Jantungnya 
semakin keras berdegup. Ia berusaha menguasai 
dirinya, dan menenangkan batinnya. 

Pak Muslim sudah mengucapkan salam. Dua 
Muslimah itu menjawab bersamaan. Zul mencopot 
sandalnya. Pandangannya menunduk ke lantai. Pak 
Muslim masuk. la mengikuti di belakang. la memandang 
ke depan. Dan... 

Pandangannya bertatapan dengan pandangan 
seorang perempuan berwajah bersih, wajah yang dibalut 
jilbab putih bersih. Wajah yang pernah ia kenal. Mata 



Uziek Collections

yang pernah ia kenal. Dan... 

"Z...zul!" Dari bibir perempuan itu tersebutnamanya 
Ia berdiri mematung di tempatnya. Hatinya sesak 
oleh keharuan luar biasa. Hawa dingin seolah menyebar 
ke seluruh syarafnya. Tak terasa airmatanya meleleh. 
Lidahnya kelu. 

Perempuan berwajah bersih itu adalah Mari. 

"Ja..j.adi ternyata kau Zul!" 

Zul tidak bisa bersuara. Ia hanya mengangguk 
dengan airmata berderai. 
"Yang dimaksud temannya Pak Muslim ini kau 

Zul?" 
Zul kembali mengangguk. 
"Ini tidak mimpi kan?!" seru Mari. 
"Ti...tidak Mari. Tidak! Ini kenyataan!" Zul buka 

suara dengan tangis yang pecah. Begitu mendengar 
kalimat yang keluar dari mulut Zul, Pak Muslim 
langsung mengerti. Beliau meneteskan airmata. Hanya 
isteri Pak Muslim yang masih bingung. 

"Jadi kalian sudah saling kenal?" tanya isteri Pak 
Muslim heran. 

Zul dan Mari menjawab serentak: "I ya!" 
 


Uziek Collections


Pak Muslim menyuruh Zul duduk Mari tak kuasa 
membendung tangisnya. Isteri Pak Muslim belum 
mengerti apa yang terjadi. Pak Muslim lalu menceritakan 
apa yang terjadi pada Zul saat jatuh cinta pada Mari 

"Zul bilang namanya Siti Martini." kata Pak Muslim. 
Mari menyela "Benar, nama saya memang Siti 
Martini. Itu nama kecil saya." 
Pak Muslim lalu melanjutkan kisahnya Bagaimana 
Zul nyaris gila dan binasa. Sampai akhirnya ia 
memanggil Zul dan memberinya tiga saran atau tiga opsi. 
Lalu Zul memilih opsi yang kedua, yaitu memilih 
menikahi Mari. Ia dan Zul pergi ke Subang Jaya dan 
mendapati rumah telah kosong. Seorang perempuan 
Melayu memberi tahu kalau Mari dan kawan-kawan 
digrebeg karena dianggap bertindak asusila. 
"Saat itu aku lihat Zul sangat terpukul. Aku masih 
ingat bagaimana ia seolah tidak bisa percaya atas apa yang 
dibacanya. Ia berteriak histeris 'Tidak mungkin! Tidak 
mungkin ini terjadi!' Aku melihat bagaimana ia membaca 
lagi nama inisial Siti M di koran itu dengan hati hancur. 
Dengar nada putus asa Zul saat itu mengatakan, 'Sia-sia 
aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya.'' 
Mendengar cerita Pak Muslim, tangis Mari menjadijadi. 
Perempuan berjilbab itu jadi tahu betapa Zul 
sebenarnya sangat mencintainya. Bahkan sampai sakit 
karena mencintainya. Dan sampai datang bersama Pak 
Muslim untuk mencintainya. 
Mari lalu berbicara dengan suara terbata-bata. 
Menceritakan bagaimana dia sebenarnya sangat berharap 
Zul datang. Ia lalu menceritakan kejadian pemerkosaan 
atas dirinya dan bagaimana Zul menolongnya. Sejak itu 
ia merasa bahwa orang paling berhak menerima 
pengabdiannya adalah Zul. Mari juga mengakui ia 
berubah total cara hidupnya karena pesan Zul untuk terus 
mendekatkan diri kepada Allah. Pak Muslim dan isterinya, 
ikut terharu mendengar kisah mereka berdua. 

"Subhanallah. Allah tidak mempertemukan di 
Subang Jaya Malaysia, tapi Allah mempertemukan di 
Indonesia dalam kondisi yang lebih baik, yang lebih 
barakah. Insya Allah." Kata Pak Muslim dengan 



Uziek Collections

berlinang airmata. 

"Jadi tak perlu ada ta'aruf ini?" tanya isteri Pak 
Muslim. 
Pertanyaan itu malah dijawab dengan derai airmata 
oleh Mari. 

Semuanya kemudian diam. Masing-masing menyelami 
perasaan dan pikirannya sendiri-sendiri. 
Keheningan tercipta sesaat lamanya. Zul teringatbuku 
bersampul biru tua. Ia beranjak ke kamar dan mengambilnya. 


"Kalau boleh tahu bagaimana cerita buku ini. Buku 
ini rasanya pernah aku baca di Subang Jaya. Kok 
sekarang ada di sini?" kata Zul. 

Mari dan isteri Pak Muslim berpandangan. Mari 
merasa lebih berhak menjawab, 

"Itu buku milik Prof. Datin Laila Abdul Majid. Dosen 
sekaligus sahabatku. Saat kaubaca di kamarku di Subang 
Jaya, saat itu aku masih kuliah semester tiga. Aku kuliah 
di UKM mengambil part time. Sambil kerja." 

Zul mengangguk. la langsung bertanya, 
"Kenapa waktu kenalan dulu kau tidak menyebutkan 
dirimu mahasiswi? Kenapa malah mengenalkan 
sebagai pekerja?" 
Mari mendesah lalu menjawab, 
"Untuk apa aku menonjol-nonjolkan kuliahku. Aku 

toh sama sekali tidak bohong. Aku memang bekerja. Dan 
terus terang karena aku beranggapan pada waktu itu 
sedang kenalan dengan orang yang mencari kerja. 
Dengan calon pekerja. Bukankah dulu yang kautanyakan 
padaku adalah informasi tentang pekerjaan. 
Dan kau juga, kenapa kau tidak pernah bercerita kalau 
kau adalah mahasiswa di UM?" 

Zul diam sesaat, lalu ia berkata lirih, "Jawabannya 
kira-kira sama denganmu." 
Pak Muslim dan isterinya tersenyum.  


Uziek Collections


"Oh ya saya masih bingung. Namamu itu yang 
benar siapa tho? Zul memperkenalkan dengan nama Siti 
Martini. Dia biasa menyebut Mari. Tapi kau mengatakan 
pada isteriku dengan nama Agustina. Isteriku kalau 
memanggilmu Agustin. Di koran kau pakai nama Asma 
Maulida? Banyak nama samaran ya?" 

Mari menata tempat duduknya dan menjawab, 
"Baiklah saya jelaskan. Semuanya benar. Artinya 
semua itu memang nama saya. Saya lahir dengan nama 
Siti Martini, waktu kelas enam SD, ibu guru membolehkan 
mengganti nama yang dirasa kurang cantik 
untuk ditulis di ijazah. Ini agak lucu, tapi memang nyata. 
Teman saya namanya Sungatemi, biasa dipanggil Ngat, 
atau Ngatmi ia ganti jadi Salsabila Ayu Ratnasari. la lalu 
minta dipanggil Ratna. Ada yang namanya Sukodor, ia 
ganti jadi Anang Febrian, karena lahir di bulan Februari. 
Saya bingung. Nama saya Siti Martini, biasa dipanggil 
Mar. Saya ikut-ikutan teman-teman, saya minta ibu guru 
membuatkan nama saya yang cantik dan panjang. Ibu 
guru membuatkan nama Agustina Siti Mariana Maulida. 
Karena saya lahir di bulan Agustus. Untuk nama pena 
sekarang ini saya sering menggunakan nama Asma 
Maulida. Asma kepanjangan dari Agustina Siti Mariana. 
Kepada kolega saya sekarang lebih mantap mengenalkan 
sebagai Asma. Anggap saja Asma juga nama hijrah saya. 
Tapi sebenarnya tetaplah nama asli saya. Kepada teman 
di Bandung saya memperkenalkan diri Agustin. Dan 
kepada para pekerja di Malaysia sama memperkenalkan 
diri sebagai Mar, Mari atau Siti Martini." 

"O begitu. Jadi lengkapnya Agustina Siti Mariana 
Maulida, M.Ec?" 
"Iya begitu." 

Malam itu adalah malam yang sangat bersejarah dan 
membahagiakan bagi Zul dan Mari. Mereka sepakat 
untuk menikah secepatnya. Dan dua minggu setelah itu 
mereka mengikrarkan akad nikah di Sragen. Di desa 
kelahiran Mari. Selanjutnya mereka hidup bersama 
dalam kesucian. Dan beribadah bersama, saling 
mendukung dan menguatkan, sujud bersama dalam 



Uziek Collections

bingkai mahkota cinta yang terbangun indah di atas 
mahligai iman dan takwa. 

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar